Hari itu Kamis tanggal 2 Oktorber 2014.
Cuaca sangat cerah saat aku dan istri sampai ditempat kerja. Baru saja aku
mencabut kunci motor hp ku berbunyi. Aku pun mengecek siapa yang menelfon
pagi-pagi begini. Ternyata dari no ayah. Aku sedikit heran karena tidak biasanya
ayah menelfon sepagi ini.
“ Hallo, assallammu’alaikum . . . ada
apa yah ? ” tanyaku
Tapi yang menjawab adalah suara mama.
“ Wa’alaikumsalam . . . nda ayah tak
sadar sejak shubuh tadi. Ayah sudah tidak tahu dengan panggilan mama. ” jawab mama
sambil menangis.
Degg . . . jantungku serasa dihantam
dengan keras. Sesaat setelah mendengar itu pikiranku serasa kosong. Tidak tahu
apa yang harus kuucapkan. Setelah beberapa saat aku berusaha mencerna dan
berusaha tidak terdengar panik. Aku fikir mama pasti sudah sangat panik dan aku
tidak mau menambahnya.
“ Tak sadar gimana ma?” tanyakuku
dengan degup jantung semakin keras.
“Malam tadi ayah nonton tv masih seperti
biasa. Sebelum tidur ayah minum obat yang diambil saat ke rumah sakit Rabu kemaren.
Setelah minum obat ayah rebahan sambil bicara dengan Daffa (adikku). Setelah
itu ayah tidur” terang mama sambil berusaha terdengar tetap tenang.
Dengan terbata-bata dan rasa cemas di
hatiku ama bilang kalau ayah tidak sadarkan diri sejak shubuh. Aku pun panik.
Apalagi mama meminta aku segera pulang. Dengan gugup aku menemui kepsek dan
minta izin utnuk pulang hari itu bersama istriku. Setelah dapat izin kami kembali
lagi ke rumah.
Dalam perjalanan ke rumah kami masih
memikirkan dengan apa sebaiknya kami pulang. Kalau dengan travel ke Padang
berangkatnya paling cepat pukul 10.00 WIB dan sampai Padang pukul 18.00 WIB. Itu
pun harus melanjutkan 3 jam lagi untuk sampai ke kampungku. Kalau mobil langsung
ke kampungku baru berangkat pukul 22.00 WIB dan sampai pagi sekitar pukul 09.00
WIB.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya
kami memutuskan berangkat menggunakan motor. Padahal tak pernah terfikirkan
dalam pikiran kami untuk bermotor ria dari Pekanbaru sampai sampai ke kampungku.
Perjalanan yang jauh. Lebih dari 600 km yang harus kami tempuh.
Sampai
rumah kami langsung berbenah dan memepersiapkan segala sesuatunya. Istriku menyiapkan
pakaian yang akan kami bawa. Aku berpesan untuk sekalian membawa baju koko putih
dan baju putih istriku untuk lebaran Idul Adha di kampung.
Desy, adik istriku sempat khawatir
dengan kondisi rem “si chubby” kami. Tapi aku berkeyakinan kalau motorku
baik-baika saja. Maklum ini adalah perjalan terjauh yang akan di lalui “si
chubby”. Sebenarnya aku juga sempat berfikiran dengan yang dibilang Desy tapi
aku berkeyakinan Allah akan mlindungi perjalan kami demi. Pukul 07.30 WIB perjalanan
kami di mulai.
Dalam
perjalanan aku berfikiran perjalanan kami pasti akan melelahkan. Bayangkan
perjalan 14 jam dengan travel akan kami tempuh dengan sepeda motor. Tapi demi
kesembuhan ayahku apapun akan kulakukan yang terbaik.
Sebelumnya saat pulang dari tempat
kerja kami mengisi Pertamax dan bensin full tank untuk perjalanan kami. Selama
perjalanan aku dan istri bercerita panjang lebar supaya tidak bosan dalam
perjalan ini. Di perbatasan Bangkinang di Pertamina terakhir kami isi lagi
bernsin full untuk jaga-jaga karena baru masuk Sumbar yaitu daerah Pangkalan
kami akan bertemu SPBU lagi.
Di daerah Pangkalan kami mengisi bensin
kembali sambil meluruskan pinggang yang pegal sedari Pekanbaru. Lega sudah
masuk “wilayah sendiri”. Kami meneruskan perjalan dengan santai sambil
menikmati pemandangan sepanjang jalan.
Di Payakumbuh dekat kantor Dinas
Pendidikan kami berhenti dulu untuk makan siang. Aku tidak berselera makan karena
kefikiran kondisi ayah. Aku pun menelfon adikku Dya yang kuliah di Padang. Menurut
mama tadi Dya juga pulang untuk melihat ayah.
“Hallo, assalammua’laikum...” ucapku
saat telfonku diangkat oleh adikku setelah 3 pa nggialan sebelumnya tidak
diangkat.
“Wa’alaikumsallam” jawab adikku.
“Dya, bagaimana keadaan ayah?” tanyaku
dengan hati berdebar.
“Masih di ICU bang. Dya baru sampai
rumah sakit” terang adikku dengan suara seperti habis menangis.
“Siapa saja yang ada di sana dya?” tanyaku
lagi.
“Rame bang. Ada ibu (kakak mama), gaek
dan tetangga” Jelas adikku.
“Abang sekarang masih di Payakumbuh.
Kasih tahu ama ya. do’akan ayah terus. Sudah ya, assallammu’alaikum” aku mengakhiri
telfon dengan adikku.
“Ya bang. Wa’alaikumsallam” jawab
adikku.
Aku pun melanjutkan makan dengan tak berselera
karena aku harus makan supaya kuat bawa motor sampai rumah. Setelah makan kami
pun shalat Zhuhur di mesjid Payakumbuh. Air mataku mengalir saat shalat
mengingat kondisi ayah dan terutama bagaimana perasaan mama.
Selesai shalat aku berdo’a untuk
kesembuhan ayahku dengan harapan yang sangat tinggi akan dikabulkan Allah SWT
dengan berurai air mata yang kutahan dari tadi.
“Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Aku tahu banyak dosa dan khilaf kepada-Mu. Tapi jangan berikan
cobaan yang kami tak sanggup menghadapinya. Kuatkanlah aku, mama dan adikku
menghadapi ini semua. Aku yakin ya Allah ada hikmah dari semua kejadian ini,
aminn . . .” pintaku dengan air mata yang terus mengalir.
Lega dan tenang hatiku setelah
mengadukan semuanya sang Khalik.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Baru
masuk Kota Payakumbuh kami disambut gerimis. Padahal mantel yang dibawa cuma
satu. Terpaksa kami memutar kembali ke arah pasar yang baru kami lewati untuk
mencari tempat menjual mantel.
Namun sayang tidak ada satupun toko yang
kami temui menjual mantel yang kami cari. Kami langsung saja meneruskan
perjalanan dengan mantel yang satu lagi. Ternyata hujan hanya terjadi di sebagian
tempat saja.
Sebelum
sampai di Bukittinggi kami mengambil jalan ke arah Batusangkar untuk menghemat
waktu. Ini perjalanan pertama kami yang pertama pakai motor lewat Batusangkar
dan benar-benar rute yang bikin deg-degan. Jalannya mirip dengan jalan di Sitinjau
Laut. Berkelok-kelok dan jalannya kecil.
Menjelang Pasar Batusangkar kami menempuh
jalan yang lurus sehingga membuat aku sedikit mengantuk. Aku tak menyangka
kalau diatas bukit ada jalan yang landai seperti di Pekanbaru. Pemandangan di
daerah Batusangkar tidak kalah dengan daerah lain di Sumbar. Bagus sekali.
Sekitar
pukul 14.00 WIB kami sampai di Ombilin. Perjalanan kami teruskan ke arah Solok.
Sampai Solok kami berhenti untuk shalat Ashar dan membeli gorengan untuk cemilan
di jalan.
Selesai shalat kami mengisi bensin di
SPBU. Kami berencana untuk lewat jalan pintas yang dibilang Om Em (adik mama)
saat aku dan Diana pergi lebaran kesana. Kata Om Em jalan tersebut akan
langsung sampai pasar Alahan Panjang. Jadi bisa menghemat waktu tempuh 2 jam
kalau melalui jalan biasa ke Lubuk Selasih.
Aku pun menelfon Om dan menanyakan arah
jalannya. Setelah mendapatkan arah jalan yang harus kami tempuh dan memberi
tahu Om kalau ayah masuk RS kami melanjutkan perjalanan. Tak lupa tentunya
sambil menikmati gorengan.
Ternyata rute perjalanannya benar-benar
menantang. Setelah puas tanya sana sini akhirnya kami melewati rute yang
benar-benar bikin jantung berdebar. Jalannya mengingatkan aku saat ke Sungai
Penuh 4 tahun lalu. Sampai-sampai istriku harus turun karena “ci chubby” tidak
sanggup mendakinya.
“Hehhhh...sekali ini sajalah lewat
sini” kata istriku denagn kesal.
Aku pun setuju. Jalanannya masih ada
yang belum diaspal dan kecil. Kalau tidak hati-hati bisa-bisa kami jatuh ke
jurang dalam di sebelah kanan kami. Ternyata kami keluarnya di Pasar Alahan
Panjang.
Fiuhhh . . . benar-benar jalan pintas
yang mendebarkan. Setelah kulihat jam ternyata perjalanan kami sama saja dengan
lewat jalan biasa. Tapi tak apalah untuk menambah pengalaman.
Kami
melanjutkan perjalanan ke arah Surian. Di Surian kami makan soto ditempat
langganan kami untuk mengahangatkan tubuh yang sudah menggigil sejak Alahan
Panjang. Hmmm . . . benar-benar enakk . .
Setelah
kenyang aku dan istri melanjutkan perjalanan. Waktu sudah menunjukkkan pukul
17.30 WIB. Masih 2 jam lagi perjalan untuk sampai rumah. Di Balun aku merasa
plong karena sebentar lagi dekat rumahku.
Aku dan istri langsung ke rumah. Ternyata
rumah dikunci. Berarti mama dan adikku masih
di RS. Sebelum ke RS kami shalat Isya dulu di mesjid Koto Baru. Aku sempat
mengobrol sebentar dengan garin di mesjid tersebut yang kukenal saat dulu aku
sering shalat ke sana.
Sampai RS aku mencari ruangan ayah
dirawat dengan bertanya ke perawat jaga. Setelah tahu kami langsung ke ruangan
yah dirawat. Jantungku berdebar semakin keras saat semakin dekat ruangan ayah
dirawat.
Sampai di ruangan ayah dirawat ternyata
banyak tetanggaku yang datang untuk melihat. Ada mama, Dya dan Daffa (adikku), Ibu (kakak mama), Tek Ti (adik ayah), nenek
(ibu tiri ayah), Ibu sebelah rumah (sepupu ayah), dan kenalan orang tuaku
lainnya.
Aku menunju ke tempat ayah berbaring.
Kata mama ayah belum sadar sejak di bawa ke RS.
“Ayah . . . ” aku memanggil ayah yang
sedang tidur.
“Ini nda yah” lanjutku.
Mata ayah perlahan terbuka dan
melihatku. Dari tatapan mata ayah aku tahu ayah mengenaliku.
“Tahu kan ayah dengan nda?” Tanyaku
lagi untuk berusaha mengembalikan kesadaran ayah.
Mulut ayahku terbuka seakan mau
berbicara. Tapi tidak ada satupun kalimat yang keluar. Hatiku semakin berdebar.
“Kalau ayah tahu dengan nda, anggukan
kepala ayah sedikit” usahaku lagi.
Kepala ayah mengangguk sedikit.
Alhamdulillahh . . . akhirnya ayah bisa mengenaliku dan kesadaran ayah sudah
pulih. Aku pun membawa istriku ke dekat ayah untuk memancing kesadaran ayah
lagi.
“Ini Diana yah. Ingat yah?” tanyaku
lagi.
Kulihat ayahku juga sedikit mengangguk.
Plong rasa hatiku setelah yakin ayah sudah semakin sadar
Jujur sedih hatiku melihat kondisi ayah
yang terbring tak berdaya. Aku seakan tak percaya kejadian ini menimpa
keluargaku. Bertambah iba hatiku melihat mama yang terlihat lelah. Begitu juga
dnegan adikku Dya yang baru sampai sore tadi dari Padang. Dan adikku yang
paling kecil, Daffa terlihat sudah mengantuk.
Dari keterangan mama sepertinya ayah
korban salah minum obat. Ternyata hari Rabu saat jadwal terapi ayah dokter
terapi yang biasa tidak datang. Jadi ayah konsultasi dengan dokter umum. Dari dokter
tersebutlah ayah mendapatkan obat berwarna orange yang tanpa label. Sepertinya
obat itulah yang menyebabkan kondisi ayah drop
Geram hatiku. Ingin rasanya
memperpanjang masalah ini. Karena ini suduh masuk dalam mal praktek. Tapi setelah
kupikir kesembuhan ayah lah yang paling penting saat ini. Jadi aku mendiamkan
saja dulu.
Malam itu aku, istriku, mama, Tek Ti
(adik mama) dan nenek (ibu tiri ayah) menginap di RS. Sebenarnya aku menyuruh
istriku untuk istirahat di rumah saja. Tapi dia tidak mau.
Badanku begitu lelah namun mata ini
tidak mengantuk. Sekitar pukul 24.00 Wib baru akhirnya aku tertidur.
Pukul 03.00 WIB aku terbangun. Aku
ingin shalat tahajud. Dengan mata berat aku pun keluar dari kamar ayah untuk
mencari mushala. Setelah mutar-mutar sebentar akhirnya aku menemukan mushala
yang terletak di bagain belakang RS. Selesai shalat dengan linanagan air mata
aku meemohon kesembuhan ayahku dan meminta diberi kekuatan kepada mama,
adik-adikku dan aku mengahdapi ini semua.
*****
Alhamdulilah setelah 1 minggu dirawat
ayah sudah bisa pulang. Sebenarnya ini diluar perkiraan ayah dapat pulih secepat
itu. Tak percuma perjuangan mama, Dya, aku dan istri menunggu ayahku saat malam
di RS.
Aku pun bersyukur dianugrahi istri yang
sangat memahami kondisi keluagaku. Berkat saran istriku jugalah yang membantu
proses kesmbuhan ayahku. Dari saat pindah kamar perawatan ayah yang sempat
berbeda pendapat dengan adik ayah, memberikan minuman hangat saat ayah batuk-batuk
tengah malam. Tak ada rasa sungkan dan ragu pada istriku saat melakukannya. Tak
salah ucapan saudara sepupu ayah dari jambi yang datang saat hari terakhir ayah
di RS.
“Siapa tu nda?” bisik sepupu ayah saat
istriku sedang memberi minuman ke ayah.
“Istri nda tek” jelasku kepada sepupu
ayah yang saat pernikahan kami tidak sempat datang.
“Beruntung kau mendaptkan istri yang
pandai memepatkan diri seperti itu nda” ucap etekku.
Aku pun tersenyum dan bersyukur dalam
hati.
Rasa sykurku semakin bertambah saat
Gaek (Bapak mama) berkomentar hal yang sama saat aku mengantarkan beliau
pulang,
“Tak salah kau milih kawan hidup nda.
Pandai istrimu itu menempatkan diri sebagai menantu. Tak ada rasa canggung dan
sungkan saat membantu ayahmu yang sedang sakit” ucap gaekku yang sering
bercanda kalau bertemu kami. Aku pun senang dnegan penilaian dari orang yang
sangat aku horamati dan jadi panutan dalan hidupku.
Kondisi ayah setelah dibawa pulang ke
rumah semakin membaik. 2 hari setelah ayah di bawa pulang aku dan istri balik
lagi ke Pekanabaru. Adikku Dya sudah balik ke Padang beberapa hari sebelumnya. Namun
sebelumnya kami akan mampir dulu ke Padang. Berat memang meninggalkan ayah,
mama dan adikku Daffa dalam keadaaan seperti ini. Tapi kami harus kembali
secepatnya karena sudah ada beberapa pekerjaan yang menunggu. (perjalanan kami
balik ke Pekanbaru akan aku ceritakan di kesempatan lainnya . . .).