Saat
bulan puasa merupakan masa yang paling berat bagi anak kecil. Mudah letih dan
kehausan. Namun ada yang unik dari kebiasaan di tempatku di bulan puasa. Aku dan teman-teman yang lain
memiliki rutinitas yang tidak biasa di mushala di daerah kami. Kami biasanya
mengisi waktu di mushala dengan bermain ludo, congklak, gambar dan semua hal lainnya
sambil menunggu waktu berbuka.
Ini
adalah kebijakan yang diberikan pengurus mushala supaya kami anak-anak betah
untuk berada di dalam rumah ibadah. Kami diinstuksikan untuk tetap tertib di
dalam mushala. Namun namanya juga anak-anak ada juga yang berlarian.
Mushala
kami memiliki halaman yang ukurannya bisa digunakan untuk main bulutangkis. Di
sebelah kanan mushala ada jalan beraspal yang digunakan untuk menuju kampung
sebelah. Di sebelah kiri ada kebun milik warga. Dibelakang ada kebun yang
berbatasan dengan sungai mengalir tenang yang merupakan tempat favorit kami
mandi-mandi . Dan di seberang sungai terhampar perbukitan yang menghijau.
Mushala
kami memiliki dua orang marbot. Satu bernama Gaek Pakiah (Gaek = Kakek) dan
seorang lagi Gaek Gobat. Gaek Pakiah bertugas untuk jadi imam. Sedangkan Gaek
Gobat bertugas memukul bedug untuk tanda masuk shalat dan membersihkan mushala.
Beliau berdua
setia menjalankan tugas sebagai marbot sejak muda sampai akhir usia mereka. Gaek
Pakiah memiliki perwakan kecil dan kurus. Sedangkan Gaek Gobat memiliki tubuh
yang lebih berisi, pendek dan agak bungkuk. Gaek Gobat tidak bisa berbicara dengan
lancar. Namun beliau menegrti apa yang diucapkan orang lain.
Hal
yang paling menarik bagiku dari Gaek Gobat saat pertama bertemu adalah wajah
dan telinganya yang bersih dan mengkilat. Belum pernah aku melihat ada orang
yang sudah usia lanjut memiliki rupa yang begitu bercahaya. Biasanya hanya ada
kerut di usia segitu. Aku menyadari hal itu saat kelas 4 SD. Waktu itu aku dan
keluarga baru pindah dari Palembang.
Rumahku
terletak setengah kilometer dari mushala. Saat azan Shubuh aku sering
terbangun. Mendengar suara azan dan ada suatu suara lagi yang sering kudengar
dari jalan di depan rumahku. Suara
sendal yang beradu dengan jalan berasapal.
Suara
itu sering kudengar saat Shubuh. Aku penasaran siapa yang sudah beraktifitas
sepagi itu. Orang lari pagi
? rasanya tidak mungkin ada yang berlari dengan sendal. Langkah kakinya bukan seperti orang biasa lari pagi.
? rasanya tidak mungkin ada yang berlari dengan sendal. Langkah kakinya bukan seperti orang biasa lari pagi.
Sampai
beberapa hari kemudian aku masih mendengar langkah kaki tersebut. Aku belum
juga mengetahui langkah kaki siapa. Akhirnya hal tersebut kuceritakan kepada Mama.
“Itu adalah langkah kaki Gaek
Gobat ke mesjid Koto Baru” jelas Mama.
Mesjid yang dimaksud oleh Mama
adalah mesjid yang berada di kampung sebelah. “Kenapa tidak di mushala Gaek
Gobat shalat ma ?” tanyaku.
“Tidak ada yang azan dan jadi
imam di mushala. Beliau ingin shalat shubuh berjamaah “ jelas Mama.
Selang
beberapa hari aku baru tahu kalau Gaek Pakiah yang biasa jadi imam di mushala
kami sedang sakit. Setelah bertambah usia aku menyadari betapa besarnya pahala
shalat shubuh berjamah yaitu lebih baik dari dunia dan isinya. (cari
hadistnya).
Terbayang
olehku dengan langkahnya yang lambat Gaek Gobat setiap pagi berjalan sekitar 1
km untuk shalat Shubuh berjamaah.
Hal
lain yang kuingat tentang Gaek Gobat adalah pada saat kami mengaji di mushala.
Kebetulan Ayahku adalah guru mengaji di mushala. Setiap habis Magrib kami
mengaji sampai menejelang Isya. Setelah shalat Isya berjamaah baru kami pulang.
Suatu
hari aku dan seluruh murid mengaji melakukan gotong royong membersihkan mushala
dan sekitarnya. Saat itu di mushala sudah ada garin baru pengganti Gaek Pakiah
yang sudah meninggal dunia. Garin baru ini masih sekolah di pesantren di
daerahku.
Namanya
anak-anak saat goto royongpun banyak
main-mainnya. Mungkin karena terbawa
suana garin baru tersebut sedikit “menjahili” Gaek Goabat untuk membuat kami
tertawa. Namun Ayahku melihat hal tersebut. Ayah sangat marah. Kami semua
terdiam dan takut melihat Ayahku. Ayah bilang kami harus menghormati yang lebih
tua dan “kurang” dari kita.
Saat
bulan ramadhan Gaek Gobat biasa mengingatkan masyarakat sekitar melalui pengeras
suara mushala.
“Sahurrr...hurr...hurr...mo
nikk...mo nikk... (sahurrr...sahurr...lima menit lagi ...lima menit lagi) ”
seruan khas dari Gaek Gobat. Ini berlangsung tiap 5 menit.
Saat
pertama kali mendengarnya aku tersenyum. Awalnya aku tidak paham apa yang dibilang oleh
Gaek Gobat tersebut. Namun itu adalah cara Gaek Gobat membantu kami masyarakat
untuk dapat sahur.
Untuk
memberi tanda Magrib sudah masuk Gaek Gobat biasa memukul bedug di mushala
tersebut. Iya, bedug benda silinder besar yang berlobang atas bawah. Salah satu
bagian yang berlobang tersebut ditutupi dengan kulit sapi atau kerbau yang
sudah dikeringkan.Bedug tersebut juga biasa dimasuki oleh aku dan teman-temanku
saat main di mushala.
Ditengah
keterbatasan fisiknya Gaek Gobat selalu menjalankan tugasnya dengan sebaik
mungkin. Setahuku tidak pernah Gaek Gobat tidak melewatkan tugasnya kecuai
sakit.
Saat
pulang liburan di rumah salah satu hal yang aku tunggu adalah bunyi pukulan
bedug penanda Magrib datang tersebut. Suara khas Gaek Gobat membangunkanku saat
sahur. Serta melihat wajahnya yang mengkilat bersih karena air wudhu. Namun semua
itu sudah tidak mungkin lagi karna beliau sudah meninggal dunia karena sakit
saat aku sedang kuliah semester 5. Aku berdo’a semoga diusia senja nanti aku
juga memiliki wajah yang juga sama bersih dan mengkilat seperti beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar