ANDA PENGUNJUNG KE :

Rabu, 13 Mei 2015

GAEK GOBAT




Saat bulan puasa merupakan masa yang paling berat bagi anak kecil. Mudah letih dan kehausan. Namun ada yang unik dari kebiasaan di tempatku  di bulan puasa. Aku dan teman-teman yang lain memiliki rutinitas yang tidak biasa di mushala di daerah kami. Kami biasanya mengisi waktu di mushala dengan bermain ludo, congklak, gambar dan semua hal lainnya sambil menunggu waktu berbuka.
          Ini adalah kebijakan yang diberikan pengurus mushala supaya kami anak-anak betah untuk berada di dalam rumah ibadah. Kami diinstuksikan untuk tetap tertib di dalam mushala. Namun namanya juga anak-anak ada juga yang berlarian.
          Mushala kami memiliki halaman yang ukurannya bisa digunakan untuk main bulutangkis. Di sebelah kanan mushala ada jalan beraspal yang digunakan untuk menuju kampung sebelah. Di sebelah kiri ada kebun milik warga. Dibelakang ada kebun yang berbatasan dengan sungai mengalir tenang yang merupakan tempat favorit kami mandi-mandi . Dan di seberang sungai terhampar perbukitan yang menghijau.
          Mushala kami memiliki dua orang marbot. Satu bernama Gaek Pakiah (Gaek = Kakek) dan seorang lagi Gaek Gobat. Gaek Pakiah bertugas untuk jadi imam. Sedangkan Gaek Gobat bertugas memukul bedug untuk tanda masuk shalat dan membersihkan mushala.
Beliau berdua setia menjalankan tugas sebagai marbot sejak muda sampai akhir usia mereka. Gaek Pakiah memiliki perwakan kecil dan kurus. Sedangkan Gaek Gobat memiliki tubuh yang lebih berisi, pendek dan agak bungkuk. Gaek Gobat tidak bisa berbicara dengan lancar. Namun beliau menegrti apa yang diucapkan orang lain.
          Hal yang paling menarik bagiku dari Gaek Gobat saat pertama bertemu adalah wajah dan telinganya yang bersih dan mengkilat. Belum pernah aku melihat ada orang yang sudah usia lanjut memiliki rupa yang begitu bercahaya. Biasanya hanya ada kerut di usia segitu. Aku menyadari hal itu saat kelas 4 SD. Waktu itu aku dan keluarga baru pindah dari Palembang.
          Rumahku terletak setengah kilometer dari mushala. Saat azan Shubuh aku sering terbangun. Mendengar suara azan dan ada suatu suara lagi yang sering kudengar dari jalan di depan  rumahku. Suara sendal yang beradu dengan jalan berasapal.
          Suara itu sering kudengar saat Shubuh. Aku penasaran siapa yang sudah beraktifitas sepagi itu. Orang lari pagi
? rasanya tidak mungkin ada yang berlari dengan sendal. Langkah kakinya bukan seperti orang biasa lari pagi.
          Sampai beberapa hari kemudian aku masih mendengar langkah kaki tersebut. Aku belum juga mengetahui langkah kaki siapa. Akhirnya hal tersebut kuceritakan kepada Mama.
“Itu adalah langkah kaki Gaek Gobat ke mesjid Koto Baru” jelas Mama.
Mesjid yang dimaksud oleh Mama adalah mesjid yang berada di kampung sebelah. “Kenapa tidak di mushala Gaek Gobat shalat ma ?” tanyaku.
“Tidak ada yang azan dan jadi imam di mushala. Beliau ingin shalat shubuh berjamaah “ jelas Mama.
          Selang beberapa hari aku baru tahu kalau Gaek Pakiah yang biasa jadi imam di mushala kami sedang sakit. Setelah bertambah usia aku menyadari betapa besarnya pahala shalat shubuh berjamah yaitu lebih baik dari dunia dan isinya. (cari hadistnya).
          Terbayang olehku dengan langkahnya yang lambat Gaek Gobat setiap pagi berjalan sekitar 1 km untuk shalat Shubuh berjamaah.
          Hal lain yang kuingat tentang Gaek Gobat adalah pada saat kami mengaji di mushala. Kebetulan Ayahku adalah guru mengaji di mushala. Setiap habis Magrib kami mengaji sampai menejelang Isya. Setelah shalat Isya berjamaah baru kami pulang.
          Suatu hari aku dan seluruh murid mengaji melakukan gotong royong membersihkan mushala dan sekitarnya. Saat itu di mushala sudah ada garin baru pengganti Gaek Pakiah yang sudah meninggal dunia. Garin baru ini masih sekolah di pesantren di daerahku.
          Namanya anak-anak saat goto royongpun  banyak main-mainnya. Mungkin  karena terbawa suana garin baru tersebut sedikit “menjahili” Gaek Goabat untuk membuat kami tertawa. Namun Ayahku melihat hal tersebut. Ayah sangat marah. Kami semua terdiam dan takut melihat Ayahku. Ayah bilang kami harus menghormati yang lebih tua dan “kurang” dari kita.
          Saat bulan ramadhan Gaek Gobat biasa mengingatkan masyarakat sekitar melalui pengeras suara mushala.
“Sahurrr...hurr...hurr...mo nikk...mo nikk... (sahurrr...sahurr...lima menit lagi ...lima menit lagi) ” seruan khas dari Gaek Gobat. Ini berlangsung tiap 5 menit.
Saat pertama kali mendengarnya aku tersenyum.  Awalnya aku tidak paham apa yang dibilang oleh Gaek Gobat tersebut. Namun itu adalah cara Gaek Gobat membantu kami masyarakat untuk dapat sahur.
Untuk memberi tanda Magrib sudah masuk Gaek Gobat biasa memukul bedug di mushala tersebut. Iya, bedug benda silinder besar yang berlobang atas bawah. Salah satu bagian yang berlobang tersebut ditutupi dengan kulit sapi atau kerbau yang sudah dikeringkan.Bedug tersebut juga biasa dimasuki oleh aku dan teman-temanku saat main di mushala.
          Ditengah keterbatasan fisiknya Gaek Gobat selalu menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Setahuku tidak pernah Gaek Gobat tidak melewatkan tugasnya kecuai sakit.
          Saat pulang liburan di rumah salah satu hal yang aku tunggu adalah bunyi pukulan bedug penanda Magrib datang tersebut. Suara khas Gaek Gobat membangunkanku saat sahur. Serta melihat wajahnya yang mengkilat bersih karena air wudhu. Namun semua itu sudah tidak mungkin lagi karna beliau sudah meninggal dunia karena sakit saat aku sedang kuliah semester 5. Aku berdo’a semoga diusia senja nanti aku juga memiliki wajah yang juga sama bersih dan mengkilat seperti beliau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar