ANDA PENGUNJUNG KE :

Rabu, 11 Maret 2015

SAAT AYAH PERGI

        Aku terbangun mendengar dering hp. Aku fikir itu alarm hp istriku, ternyata bukan. Itu adalah dering hp ku. Saat aku lihat panggilan tulisan My Father tertera disana.
“Hallo, Assalamualaikum” kataku sambil melihat jam didinding, ternyata pukul 03.40 WIB.
“Abang Ma, kudengar suara adikku Daffa dan memberikan hp ke Mama.
“Waalaikumussallam”suatu suara menjawab. Aku yakin ini bukan suara Mama. Kuingat-ingat suara ini mirip dengan suara Ibu, sepupu Ayah yang tinggal di sebelah rumah.
“Ini Ibu? ada apa Bu?” tanyaku dengan rasa penasaran
“Nda, bisa pulang sekarang?” tanya Ibu.
“Kenapa Bu?” tanyaku lagi dengan hati cemas. Ini kali ketiga panggilan dari rumah yang memintaku pulang. Pertama saat ayah kena stroke, kedua saat Ayah drop lagi sampai masuk RS. Ya Allah semoga ini bukan seperti yang kutakutkan.
“Pulang ya Nda.” jelas Ibu lagi.
“Kenapa Bu? tanyaku dengan cemas yang semakin menjadi-jadi.
“Ayah kenapa Bu” tanyaku lagi, berusaha menerka maksud ibu menelfon.
“Pulang saja Nanda dulu” jawab ibu lagi.
“Jawab dulu Bu. Kenapa Ayah Bu?” suaraku bergetar. Aku yakin ada sesuatu yang kutakutkan telah terjadi.
Kuberanikan diriku minta penjelasan “meninggal ayah Bu?” tanyaku lagi dengan suara yang semakin serak .
“Iya Nda. Sabar ya Nda. Pulang saja Nda dulu” akhirnya Ibu memberi penjelasan dan aku yakin ibu berusaha menahan air mata.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, Ayahhhh.....” lirihku.
          Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku.
“Jam berapa Ayah meninggal Bu?” tanyaku meminta penjelasan.
“Jam empat tadi Nda. Bisa Nda pulangkan?” tanya Ibu lagi.
“Ya Bu Nda pulang hari ini juga. Widya sudah dihubungi bu?” Tanyaku tentang adikku yang kuliah di Padang.
“Setelah ini akan dihubungi Dya” jawab ibu.
“Ya sudah Bu, Nanda siap-siap dulu. Tolong dirumah ya bu. Assalamualaikum” ucapku mengakhiri pembicaraan
“Iya nda. Waalaikumussallam”jawab ibu.
          Aku letakkan hp di atas meja dalam kamar dan terduduk di tempat tidur tanpa tahu mau berbuat apa-apa. Aku merasa kosong. Air mataku mengalir menging kejadian barusan yang seperti mimpi. Aku sangat berharap ini memang mimpi.
          Istriku yang juga terbangun ikut menangis disampaingku dan berusaha menenangkanku. Setelah agak tenang aku segera mandi dan bersiap-siap. Setelah selesai aku mencoba menghubungi Widya. Aku berharap adikku belum tahu kabar sebenarnya sehingga dia tidak panik.
“Hallo, Assalamualaikum” ucapku.
“Waalaikumussallam” jawab adikku dengan suara terisak.
Ya Allah sepertinya adikku sudah tahu, batinku.
“Dya pulang dengan siapa?” tanyaku langsung.
“Dengan Om Ses (adik sepupu Mama) Bang” jawab adikku dengan suara serak
“Siapa yang hubungi Dya?” tanyaku lagi.
“Tadi Om Em (adik mama di Solok) nelfon bang” jelas adikku.
“Ya sudah hati-hati ya. Do’akan Ayah. Abang juga berangkat pagi ini. Assalamualaikum” aku pun mengakhiri pembicaraan.
Aku berfikir bagaimana mau pulang. Dengan mobil atau motor?
Setelah diskusi dengan istri dan adik iparku akhirnya kami memutuskan pulang dengan mobil. Untuk yang meembawa mobil kami mengajak David, teman Desy yang pernah kami ajak pulang beberapa bulan lalu. Mobilnya aku sewa kepada tetangga yang punya rental mobil.
          Pukul 10.00 WIB kami berangkat. Indah, anak pemilik rumah tempat kami mengontrak ikut bersama kami. Sebelum keluar Pekanbaru kami sarapan dulu di daerah Taman Karya.
          Dalam perjalanan aku masih merasa semua ini seperti mimpi. Aku masih belum yakin Ayah sudah pergi. Masih teringat jelas Jum’at, 27 Februari 2015 pukul 17.00 WIB aku menelfon ayah yang sedang mengajar mengaji di rumah. Ayah masih tertawa denganku.
          Saat masuk Bangkinang Pek Tek Yan (adik Ayah) menelfon menanyakan posisiku. Pukul 12.00 WIB gantian Angku Zul (abang Mama nomor dua) menelfon mengabarkan kalau ayah selelsai dimandikan. Beliau bertanya apakah ayah boleh dikuburkan segera.
Ya Allah . . . .kalau tak ingat dengan ajaran agama ingin rasanya aku bertemu Ayah untuk terakhir kalinya. Namun demi kebaikan Ayah kucoba untuk tegar dan mempersilahkan keluarga di rumah untuk menguburkan Ayah. Selain itu aku juga sudah memperkirakan kami akan sampai Magrib, jadi sangat tak mungkin Ayah harus menunggu satu malam lagi.
          Pukul 13.00 WIB kembali Angku Zul menelfon mengabarkan kalau ayah sudah selesai dikubur. Dengan menahan air mata kuucapkan terima kasih kepada Angku dan menitip terima kasih juga buat semua orang yang sudah membantu pemakaman ayah. Kosong hanya itu yang kurasakann . . . .
Terbayang olehku paniknya Mama dan adikku Daffa menghadapi ini semua. Tapi aku harus tegar karena sekarang aku adalah laki-laki yang bertanggung jawab terhadap Mama, adik-adikku dan istriku tercinta.
          Sekitar pukul 14.00 WIB kami sampai di Ombilin dan berhenti di rumah keluarga istriku untuk makan siang. Disana kami bertemu dengan Pak Wo (Kakak mertuaku). Mertuaku sudah berangkat dari padang pukul 08.00 WIB bersama mama, Kak Rita (ipar) dan Bang Mora (ipar).
          Setelah makan dan istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan. Betul sesuai perkiraanku kami sampai Magrib di kampungku. Dari keterangan adikku, mama ada di tempat Amak (Ibu dari Mamaku). Jadi aku akan langsung kesana. Namun sebelumnya aku ke makam ayah dulu.
          Mengalirlah air mata yang kutahan selama perjalanan melihat tanah merah yang masih basah tempat Ayah dimakamkan. Ya Allah . . . kuatakan hamba-Mu yang lemah ini. Kuatkanlah Mama dan adik-adikku.
          Terbayang semua kenangan bersama Ayah. Ayah yang suka memintaku untuk menarikntarik rambutnya saat kepala Ayaah tersa berat. Ayah yang membawaku menonton bisokop pertama kali saat di Palembang dan makan sate kambing setelah itu. Begitu senang dan bahagianya aku saat itu.
          Ayah yang memarahiku kalau aku mandi-mandi di sungai. Ayah yang selalu mengantarku pergi sekolah saat SD. Ayah yang selalu membelikan aku mainan yang aku inginkan. Ayah yang tidak pernah bosan melatihku tenis meja di belakang rumah.
Ayah yang selalu datang saat pembagian raportku. Ayah selalu sibuk saat pendaftaran sekolahku. Ayah yang menyemangatiku untuk melanjutkan kuliah. Ayah yang menemaniku dengan motor ke Padang untuk mengejar mobil ke Pekanbaru saat ada panggilan kerja. Tawa dan syukur ayah saat aku memberi tahu kelulusan tes.
Ayah . . .  belum sempat anakmu ini membawa ayah ke Pekanbaru. Belum sempat anakmu ini memenuhi janji untuk membahagiakanmu. Belum sempat anakmu ini memberangkatkan naik haji.
Tidak ada lagi yang akan selalu menlfonku sekarang. Tidak ada lagi yang akan bilang taragak kepadaku. Tidak ada lagi tangan kokoh yang akan kucium saat pulang ke rumah. Tidak ada lagi yang akan kubelikan baju koko setiap lebaran.
Ya Allah . . . banyak sekali dosaku kepada Ayahku. Banyak sekali mulut ini menyinggung perasaanmu. Banyak sekali mulut ini membuat hatimu sedih. Maafkan aku Ayah, maafkan kesalahan anakmu ini . . .
Setelah puas menumpahkan segala beban dalam hatiku kami pun meninggalkan makam Ayah saat azan Magrib berkumandang. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan Mama dan adik-adikku.
Di tempat nenek akhirnya aku bertemu dengan Mama yang menyambutku dengan senyum tak bersemangat. Aku yakin Mama pasti lelah lahir batin dengan semua ini. Apalagi ternyata dipangkuan Mama Ayahku menghembuskan nafas terkahir.
Aku melihat adikku-adikku yang sama letihnya dengan Mama. Sekarang akulah yang bertanggung jawab terhadap mereka. Kutatap wajah orang-orang yang kukasihi tersebut dengan sepenuh jiwa dan aku berjanji akan memberikan yang terbaik bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar