Aku terbangun mendengar dering hp. Aku
fikir itu alarm hp istriku, ternyata bukan. Itu adalah dering hp ku. Saat aku
lihat panggilan tulisan My Father tertera disana.
“Hallo, Assalamualaikum” kataku sambil
melihat jam didinding, ternyata pukul 03.40 WIB.
“Abang Ma, kudengar suara adikku Daffa
dan memberikan hp ke Mama.
“Waalaikumussallam”suatu suara
menjawab. Aku yakin ini bukan suara Mama. Kuingat-ingat suara ini mirip dengan
suara Ibu, sepupu Ayah yang tinggal di sebelah rumah.
“Ini Ibu? ada apa Bu?” tanyaku dengan
rasa penasaran
“Nda, bisa pulang sekarang?” tanya Ibu.
“Kenapa Bu?” tanyaku lagi dengan hati
cemas. Ini kali ketiga panggilan dari rumah yang memintaku pulang. Pertama saat
ayah kena stroke, kedua saat Ayah drop lagi sampai masuk RS. Ya Allah semoga
ini bukan seperti yang kutakutkan.
“Pulang ya Nda.” jelas Ibu lagi.
“Kenapa Bu? tanyaku dengan cemas yang
semakin menjadi-jadi.
“Ayah kenapa Bu” tanyaku lagi, berusaha
menerka maksud ibu menelfon.
“Pulang saja Nanda dulu” jawab ibu lagi.
“Jawab dulu Bu. Kenapa Ayah Bu?” suaraku
bergetar. Aku yakin ada sesuatu yang kutakutkan telah terjadi.
Kuberanikan diriku minta penjelasan
“meninggal ayah Bu?” tanyaku lagi dengan suara yang semakin serak .
“Iya Nda. Sabar ya Nda. Pulang saja Nda
dulu” akhirnya Ibu memberi penjelasan dan aku yakin ibu berusaha menahan air
mata.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, Ayahhhh.....”
lirihku.
Aku
merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku.
“Jam berapa Ayah meninggal Bu?” tanyaku
meminta penjelasan.
“Jam empat tadi Nda. Bisa Nda pulangkan?”
tanya Ibu lagi.
“Ya Bu Nda pulang hari ini juga. Widya
sudah dihubungi bu?” Tanyaku tentang adikku yang kuliah di Padang.
“Setelah ini akan dihubungi Dya” jawab
ibu.
“Ya sudah Bu, Nanda siap-siap dulu.
Tolong dirumah ya bu. Assalamualaikum” ucapku mengakhiri pembicaraan
“Iya nda. Waalaikumussallam”jawab ibu.
Aku
letakkan hp di atas meja dalam kamar dan terduduk di tempat tidur tanpa tahu
mau berbuat apa-apa. Aku merasa kosong. Air mataku mengalir menging kejadian
barusan yang seperti mimpi. Aku sangat berharap ini memang mimpi.
Istriku
yang juga terbangun ikut menangis disampaingku dan berusaha menenangkanku. Setelah
agak tenang aku segera mandi dan bersiap-siap. Setelah selesai aku mencoba
menghubungi Widya. Aku berharap adikku belum tahu kabar sebenarnya sehingga dia
tidak panik.
“Hallo, Assalamualaikum” ucapku.
“Waalaikumussallam” jawab adikku dengan
suara terisak.
Ya Allah sepertinya adikku sudah tahu,
batinku.
“Dya pulang dengan siapa?” tanyaku
langsung.
“Dengan Om Ses (adik sepupu Mama) Bang”
jawab adikku dengan suara serak
“Siapa yang hubungi Dya?” tanyaku lagi.
“Tadi Om Em (adik mama di Solok) nelfon
bang” jelas adikku.
“Ya sudah hati-hati ya. Do’akan Ayah.
Abang juga berangkat pagi ini. Assalamualaikum” aku pun mengakhiri pembicaraan.
Aku berfikir bagaimana mau pulang.
Dengan mobil atau motor?
Setelah diskusi dengan istri dan adik
iparku akhirnya kami memutuskan pulang dengan mobil. Untuk yang meembawa mobil
kami mengajak David, teman Desy yang pernah kami ajak pulang beberapa bulan lalu.
Mobilnya aku sewa kepada tetangga yang punya rental mobil.
Pukul
10.00 WIB kami berangkat. Indah, anak pemilik rumah tempat kami mengontrak ikut
bersama kami. Sebelum keluar Pekanbaru kami sarapan dulu di daerah Taman Karya.
Dalam
perjalanan aku masih merasa semua ini seperti mimpi. Aku masih belum yakin Ayah
sudah pergi. Masih teringat jelas Jum’at, 27 Februari 2015 pukul 17.00 WIB aku
menelfon ayah yang sedang mengajar mengaji di rumah. Ayah masih tertawa
denganku.
Saat
masuk Bangkinang Pek Tek Yan (adik Ayah) menelfon menanyakan posisiku. Pukul
12.00 WIB gantian Angku Zul (abang Mama nomor dua) menelfon mengabarkan kalau
ayah selelsai dimandikan. Beliau bertanya apakah ayah boleh dikuburkan segera.
Ya Allah . . . .kalau tak ingat dengan
ajaran agama ingin rasanya aku bertemu Ayah untuk terakhir kalinya. Namun demi
kebaikan Ayah kucoba untuk tegar dan mempersilahkan keluarga di rumah untuk
menguburkan Ayah. Selain itu aku juga sudah memperkirakan kami akan sampai Magrib,
jadi sangat tak mungkin Ayah harus menunggu satu malam lagi.
Pukul
13.00 WIB kembali Angku Zul menelfon mengabarkan kalau ayah sudah selesai
dikubur. Dengan menahan air mata kuucapkan terima kasih kepada Angku dan
menitip terima kasih juga buat semua orang yang sudah membantu pemakaman ayah.
Kosong hanya itu yang kurasakann . . . .
Terbayang olehku paniknya Mama dan
adikku Daffa menghadapi ini semua. Tapi aku harus tegar karena sekarang aku
adalah laki-laki yang bertanggung jawab terhadap Mama, adik-adikku dan istriku
tercinta.
Sekitar
pukul 14.00 WIB kami sampai di Ombilin dan berhenti di rumah keluarga istriku
untuk makan siang. Disana kami bertemu dengan Pak Wo (Kakak mertuaku). Mertuaku
sudah berangkat dari padang pukul 08.00 WIB bersama mama, Kak Rita (ipar) dan
Bang Mora (ipar).
Setelah
makan dan istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan. Betul sesuai
perkiraanku kami sampai Magrib di kampungku. Dari keterangan adikku, mama ada
di tempat Amak (Ibu dari Mamaku). Jadi aku akan langsung kesana. Namun sebelumnya
aku ke makam ayah dulu.
Mengalirlah
air mata yang kutahan selama perjalanan melihat tanah merah yang masih basah
tempat Ayah dimakamkan. Ya Allah . . . kuatakan hamba-Mu yang lemah ini. Kuatkanlah
Mama dan adik-adikku.
Terbayang
semua kenangan bersama Ayah. Ayah yang suka memintaku untuk menarikntarik
rambutnya saat kepala Ayaah tersa berat. Ayah yang membawaku menonton bisokop pertama
kali saat di Palembang dan makan sate kambing setelah itu. Begitu senang dan
bahagianya aku saat itu.
Ayah
yang memarahiku kalau aku mandi-mandi di sungai. Ayah yang selalu mengantarku
pergi sekolah saat SD. Ayah yang selalu membelikan aku mainan yang aku
inginkan. Ayah yang tidak pernah bosan melatihku tenis meja di belakang rumah.
Ayah yang selalu datang saat pembagian
raportku. Ayah selalu sibuk saat pendaftaran sekolahku. Ayah yang
menyemangatiku untuk melanjutkan kuliah. Ayah yang menemaniku dengan motor ke
Padang untuk mengejar mobil ke Pekanbaru saat ada panggilan kerja. Tawa dan
syukur ayah saat aku memberi tahu kelulusan tes.
Ayah . . . belum sempat anakmu ini membawa ayah ke
Pekanbaru. Belum sempat anakmu ini memenuhi janji untuk membahagiakanmu. Belum
sempat anakmu ini memberangkatkan naik haji.
Tidak ada lagi yang akan selalu
menlfonku sekarang. Tidak ada lagi yang akan bilang taragak kepadaku. Tidak ada lagi tangan kokoh yang akan kucium saat
pulang ke rumah. Tidak ada lagi yang akan kubelikan baju koko setiap lebaran.
Ya Allah . . . banyak sekali dosaku
kepada Ayahku. Banyak sekali mulut ini menyinggung perasaanmu. Banyak sekali
mulut ini membuat hatimu sedih. Maafkan aku Ayah, maafkan kesalahan anakmu ini
. . .
Setelah puas menumpahkan segala beban
dalam hatiku kami pun meninggalkan makam Ayah saat azan Magrib berkumandang.
Aku tidak sabar ingin bertemu dengan Mama dan adik-adikku.
Di tempat nenek akhirnya aku bertemu
dengan Mama yang menyambutku dengan senyum tak bersemangat. Aku yakin Mama pasti
lelah lahir batin dengan semua ini. Apalagi ternyata dipangkuan Mama Ayahku
menghembuskan nafas terkahir.
Aku melihat adikku-adikku yang sama letihnya
dengan Mama. Sekarang akulah yang bertanggung jawab terhadap mereka. Kutatap
wajah orang-orang yang kukasihi tersebut dengan sepenuh jiwa dan aku berjanji akan
memberikan yang terbaik bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar