ANDA PENGUNJUNG KE :

Minggu, 22 Maret 2015

MERAIH MIMPI



Mendung menggelayuti langit. Sepertinya hujan akan segera turun. Aku tidak berencana kemana pun hari itu. Pikiranku melayang ke beberapa waktu lalu saat bertemu dengan seorang teman sekolah dulu. Teman yang menurutku baik hati dan sangat sayang kepada Mamanya. Memang semua anak sangat sayang kepada perempuan yang telah melahirkannya. Namun temanku tersebut punya alasan yang aku rasa tidak semua orang mengalaminya.
Mama, begitulah Daffa biasa memanggil perempuan yang paling disayanginya dan dihormati dalam hidupnya. Setiap mengingat Mamanya hati Daffa merasa sedih karena belum bisa membahagiakan Mamanya dengan lebih baik. Memang orang bilang tidak akan ada yang mampu membayar jasa perempuan yang paling mulia dalam hidup kita.
          Mama adalah perempuan “terhebat” dalam hidup Daffa. Sejak TK sampai kuliah Mama Daffa selalu berjuang demi kebutuhannya dan juga adiknya yang masih sekolah. Daffa ingat saat TK Mamanya membantu perekonomian keluarganya dengan berjualan tekwan (makan berkuah khas Palembang) saat masih tinggal di Palembang. Sedangkan Ayah Daffa bekerja sebagai wiraswasta yang  pasang surut penghasilannya. Mama Daffa adalah tipikal perempuan yang tidak mau menyusahkan orang lain dan selalu berusaha dengan kemampuan sendiri.
Daffa ingat saat kelahiran adiknya Mamanya pergi sendiri ke Puskesmas. Daffa yang hari itu ikut dengan Ayahnya ke toko mendapatkan kabar dari teman Ayahnya yang melihat Mamanya pergi ke Puskesmas. Dengan tergesa-gesa Ayahnya langsung menutup toko dan mereka langsung menuju Puskesmas. Wajah Ayahnya begitu tegang.
Saat sampai Puskesmas ternyata Mamanya sudah melahirkan adiknya yang cantik dan masih berwarna merah. Saat itu Daffa hanya merasa senang dan bahagia karena sudah mendapat teman bermain di rumah. Tanpa tahu kenapa Mamanya pergi sendiri ke Puskesmas.
          Kelas 4 SD Daffa dan keluarganya pindah ke Padang. Balik lagi ke kampung Ayahnya karena permintaan Nenek dari Ayahnya. Jadilah mereka menempuh perjalanan jauh yang melelahkan. Namun bagi Daffa sangat menyenangkan karena naik mobil dan bisa melihat pemandangan sepanjang jalan. Sebagai tambahan dari Kota Padang menuju kampung Ayahnya menempuh perjalanan 4 jam.
Di rumah Nenek, Mama dan Ayah Daffa memulai kembali usaha namun kali ini di bidang makanan dan minuman. Mamanya memulai usaha membuat gorengan yang dititipkan ke warung-warung dan dijual sendiri di kantin sekolah dekat rumah. Sedangkan Ayahnya memulai usaha pembuatan es aneka rasa. Alhamdulilah walaupun perlahan semua berjalan dengan lancar. Setiap 1 bulan sekali Daffa dan keluarganya pergi ke kota Padang untuk membeli bahan usaha sekaligus jalan-jalan. Sangat menyenangkan.
Daffa melanjutkan sekolah di SD dekat pasar yang ada di daerahnya. Setiap hari Daffa pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Walaupun melelahkan Daffa bersemangat menjalaninya. Setiap pagi Daffa membantu Mamanya mengantar gorengan ke warung-warung langganan. Namun adakalanya Daffa bosan dan “mogok” tidak mau mengantar.
Kalau boleh waktu diputar kembali mungkin tidak akan pernah Daffa menolak apapun permintaan Mamanya. Mungkin karena masih kecil dan belum memahami kondisi keluarganya Daffa masih beberapa kali “berulah”. Setiap kali Daffa menolak perintah Mamanya, tidak pernah sekalipun Mamanya marah. Beliau hanya diam saja.
Setelah dewasa baru Daffa memahami itulah cara Mamanya untuk memberi tahu kalau beliau sedang marah. Itulah Mamanya walupun Daffa menolak perintah beliau Mamanya tetap menyayanginya. Setiap pagi sebelum sekolah Daffa adalah orang pertama yang “membeli” gorengan buatan Mamanya. Mamanya selalu tersenyum melihat anaknya begitu lahap sarapan gorengan.
Saat Daffa SMP Mamanya berjualan dekat sekolahnya. Mereka sudah tidak tinggal lagi dengan Nenek Ayahnya. Ayah dan Mamanya mengontrak rumah yang berjarak setengah kilometer dari sekolahnya. Daffa begitu bahagia dan semangat belajar karena selalu dekat dengan orang tuanya. Daffa sempat heran dengan teman-temannya yang bisa bersekolah jauh dari orang tuanya. Kalau Daffa saat itu mengalaminya pasti tidak akan sanggup.
Sampai akhirnya saat SMA Daffa dan keluarganya pindah ke rumah mereka sendiri.  Betapa menyenangkannya saat Daffa tahu akan tinggal di rumah yang dibangun oleh Mama dan Ayahnya dari hasil usaha mereka bertahun-tahun. Walaupun sederhana tapi mereka merasa sangat senang dan nyaman tanpa perlu memikirkan lagi biaya sewa rumah.
           Saat SMA Daffa mulai memahami kondisi keluarganya. Beberapa kali diam-diam Daffa memperhatikan Mamanya yang selalu bangun dan bekerja mulai jam 03.00 WIB untuk memasak gorengan yang akan dijual. Sedih hatinya mengetahui perjuangan Mamanya yang seakan tidak pernah ada habisnya, namun tidak pernah sedikitpun Mamanya mengeluh dengan keadaan.
Tidak jarang kalau terbangun dini hari pasti Daffa sudah mendengar Mamanya yang sibuk di dapur sendiri. Padahal dia yakin Mamanya pasti capek karena sering tidur paling akhir. Daffa merasa tidak berguna namun apa dayanya karena dia masih sekolah dan belum bisa mencari kerja untuk meringankan beban keluarganya. Kalau sudah begitu pasti air matanya mengalir sendiri merenungi nasib keluarganya. Semakin dekat tamat SMA, terbangun saat Mamanya sedang berkerja dini hari semakin sering Daffa alami.
          Sebenarnya Mama Daffa adalah keturunan dari keluarga yang cukup terpandang di daerahnya. Mamanya adalah cucu dari seorang pengusaha hasil perkebunan yang namanya dikenal sampai tingkat kabupaten di kampung mereka. Bahkan dari cerita tetangganya Daffa tahu kalau Kakek Mamanya adalah orang pertama yang memiliki mobil di daerah mereka.
Selain itu orang tuanya Mama Daffa juga tergolong sukses. Mereka  memiliki rumah yang lumayan besar saat di Palembang. Sekarang Gaek dan Amak (begitu Daffa biasa memanggil kedua orang tua Mamanya) juga sudah tinggal di kampung mengurus sawah dan ladang yang dibeli saat masih di Palembang.
Mama Daffa merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dan merupakan perempuan satu-satunya. Di atas Mama Daffa ada Abang Mamanya yang biasa dipanggilnya Angku. Angkunya ini merupakan orang yang berkedudukan di dinas kabupaten tetangga. Adik Mamanya yang biasa dipanggilnya Om juga orang sukses dengan bekerja diinstansi pemerintah di kabupaten yang sama dengan Angkunya Daffa. Sedangkan Abang Mamanya yang paling tua tinggal di daerah yang sama dengan mereka sebagai petani.
          Walupun kondisi mereka pas-pasan tidak pernah Mamanya meminta bantuan dari orang lain. Mamanya adalah perempuan yang mandiri dan pantang untuk meminta selagi masih bisa berusaha sendiri. Dari cerita Mamanya Daffa tahu kalau sejak SD Mamanya sudah tinggal berpisah dari Amak yang merantau ke Palembang.
Sampai selesai SMK Mamanya terpaksa hidup dengan saudara-saudara Amaknya. Mungkin karena faktor ditinggal Amak sejak kecil itulah Mama Daffa pantang meminta kepada siapapun termasuk kepada keluarga sendiri. Daffa menerka Mamanya pasti sudah ditempa dengan kondisi yang tidak akan terbayangkan olehnya.
          Selesai SMA Daffa ingin sekali kuliah namun dia sadar dengan kondisi kelurganya. Kalaupun kuliah Daffa harus kuliah di univesitas negeri supaya biayanya lebih murah. Namun Daffa juga berfikiran untuk langsung bekerja. Daffa pun sempat ikut tes STPDN namun gagal.
Daffa pun pernah berniat ikut tes Polisi  namun akhirnya dibatalkan karena dia tidak merasa cocok dengan “sistemnya”. Akhirnya Daffa memutuskan untuk istirahat dulu 1 tahun dan berenca kuliah tahun depan.
          Pada saat seperti itulah Daffa bertekad menjadi seorang yang suskes. Tidak tega hatinya melihat Mamanya yang banting tulang demi mereka semua. Selama masa istrirahat itu Daffa meningkatkan ibadahnya. Daffa berusaha mendekatkan dirinya ke Allah SWT dengan shalat wajib tepat waktu dan menambah amalan sunah lainnya seperti puasa Senin Kamis dan shalat Tahajud.
Berattt . . . sangat berattt . . . bagi Daffa memulai semuanya. Tapi demi terwujudnya impian untuk diterima di universitas negeri Daffa terus berjuang melaksanakannya. Tidak jarang saat mengambil wudhu untuk shalat Tahajud Daffa sudah menemukan Mamanya memulai aktifitas. Kalau sudah begitu air matanya mengalir sendiri dalam shalat. Dalam do’anya Daffa memohon kepada Allah SWT untuk dipermudahkan menggapai impiannya dan bisa membahagiakan orang tuanya.
          Selain itu Daffa mengulangi kembali pelajaran untuk menghadapi tes masuk perguruang tinggi. Daffa belajar dengan salah seorang temannya yang sama-sama “istirahat”. Susah sekali bagi Daffa untuk memulai kembali belajar setelah hampir setahun tidak melihat buku pelajaran.
          Setelah tiba waktunya tes Daffa dan temannya berangkat bersama ke Kota Padang. Pada saat tes Daffa mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Namun Daffa masih cemas dan ragu apakah dirinya mampu untuk lulus ?
Alhamdulillahhh . . . perjuangan dan do’a kedua orang tuanya tidak sia-sia. Saat pengumuman kelulusan Daffa berhasil diterima di universitas negeri pilihannya. Daffa membaca pengumuman tersebut saat dalam perjalanan mengikuti pekan olahraga Provinsi. Dari hal tersebut jugalah Daffa bisa mendapatkan biaya untuk masuk kuliahnya. Jadi Daffa tidak perlu meminta kepada Mamanya. Dua kebahagian yang datang bersamaan. Dalam rangka kelulusannya tersebut Mama Daffa mengadakan syukuran dengan mengundang beberapa orang tetangga.
          Akhirnya Daffa pun memulai hari-hari sebagai seorang mahasiswa. Daffa masih berfikiran mencari uang tambahan untuk meringankan beban Mamanya. Daffa berusaha mencari beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Namun ternyata tidak semudah itu mencari pekerjaan yang sesuai dengan jadwal kuliahnya.
Daffa tetap terus berupaya mencari pekerjaan yang cocok. Selain itu Daffa juga berupaya mencari beasiswa. Dan alhamdulillah Daffa mendapatkannya dari kampus dan beasiswa daerahnya.
          Semua itu Daffa lakukan karena dia tahu Mamanya sudah berusaha dengan cara yang luar biasa untuk menguliahkannya. Saat liburan mau lebaran Daffa melihat Mamanya juga menjual jagung bakar selain kue yang biasa dijual untuk menambah pemasukan.
Melihat itu semua hatinya teriris. Begitu besar perjuangan Mamanya demi memenuhi kebutuhan pendidikannya. Hal itulah yang membuat Daffa berjanji akan mencari biaya sendiri dan tidak ingin melihat Mamanya repot lagi.
Daffa pun akhirnya mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang dilakukannya sehabis pulang kuliah. Gajinya memang tidak seberapa. Tapi Daffa terus bertahan dengan mengingat perjuangan Mamanya yang setiap hari bangun pukul 03.00 WIB untuk membuat kue demi masa depannya tanpa mengeluh. Tidak jarang Daffa kerja lembur dan sering pulang pukul 24.00 WIB.
Kalau sudah jam segitu Daffa pun terpaksa pulang jalan kaki karena tidak ada angkot yang yang menuju kostnya yang berjarak sekitar 1 km dari tempat kerja. Pulang jalan kaki ditengah malam yang sunyi sudah biasa baginya.
Alhmadulillah sampai selesai kuliah Daffa tidak lagi meminta uang bulanan dari rumah. Mamanyalah sosok yang menjadi teladan dalam bekerja dan bisa membuatnya bertahan dengan segala aktifitasku tersebut. Dalam 4 tahun kuliahnya mampu diselesaikannya.
          Hal tersebut merupakan kebahagian terbesar dalam keluarganya. Daffa tahu betapa berat Mamanya berjuang demi dirinya supaya menjadi seorang sarjana. Mamanya pernah bilang kalau dia jangan sampai seperti Mamanya yang tidak bisa kuliah. Mamanya sangat ingin Daffa bisa menjadi orang sukses.
Itulah seorang Mama yang selalu memikirkan nasib anak-anaknya. Dikemudian hari Daffa pun tahu perjuangan Mamanya yang selalu berusaha sendiri tanpa bantuan siapapun memiliki alasan lain yang baru diketahuinya kemudian.
          Daffa ingin menjadi manusia yang sukses demi keluarganya dengan usaha sendiri. Selesai kuliah Daffa mencoba ikut tes pegawai negeri. Tes ditiga provinsi diikutinya bersama seseorang yang saat ini sudah menjadi belahan jiwanya. Namun Daffa belum berhasil. Sedih hatinya karena belum juga bisa mewujudkan impian Mamanya.
Namun Mamanya bilang “Sabar saja nak, Allah SWT pasti sedang mempersiapkan yang terbaik dibalik ini semua”.
Hati Daffa tentram setelah mendengar nasihat dari Mamanya tersebut. Dia pun bertekad bagaimanapun caranya harus menjadi orang sukses. Daffa sempat bekerja di daerahnya. Namun gaji yang diterima masih kurang. Apalagi adiknya mau masuk kuliah.
Walaupun ditengah keterbatasan Daffa bilang ke Mamanya kalau dia ingin adiknya bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Apalagi adiknya adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Sebagai Abangnya Daffa ingin memberikan masa depan yang lebih baik lagi untuk adiknya. Dia akan membantu biaya kuliah adiknya supaya Mamanya tidak terlalu berat menanggungnya.
          Melihat perkembangan kerjanya yang lambat Daffa memutuskan untuk mencoba peruntungan di Pekanbaru. Di Pekanbaru Daffa mendapatkan perkerjaan dengan gaji yang lebih baik daripada sebelumnya. Tekadnya hanya satu yaitu merubah nasib keluarganya supaya tidak dipandang sebelah mata.
Daffa teringat saat adiknya mau kuliah dan hala tersebut didengar oleh salah seorang familinya. Familinya tersebut mengatakan tidak usahlah adiknya kuliah kalau tidak ada biaya. Lebih baik adiknya menikah saja. Bahkan familinya tersebut mencarikan calon pendamping untuk adiknya, seorang pedagang keliling yang sudah berumur. Sedih hatinya mengetahui hal tersebut. Tekadnya semakin kuat akan mengembalikan semua kata-kata tersebut dengan keberhasilannya. Man jadda wa jadda, siapa yang bersunggu-sungguh akan berhasil.
          Untuk mencari tambahan Daffa kerja sambilan mengajar les supaya bisa menabung untuk masa depannya juga. Sehabis pulang sekolah dia langsung mengajar les sampai pukul 21.00 WIB. Daffa juga sudah mencoba berbagai usaha dari grosir makanan ringan, usaha pulsa dan terkahir usaha cemilan yang semuanya masih kurang memuaskan tapi dia yakin Allah SWT menyiapkan sesuatu yang lebih baik selagi kita mau berusaha.
*****
          Hujan terus turun sejak siang. Membuat Daffa semakin nyaman di dalam kamar. Tak terasa sudah hampir 4 tahun dia di rantau orang. Hari ini merupakan hari yang paling dianantinya. Segera dihidupkannya laptop dan mengetik alamat suatu website. Degup jantungnya semakin keras mengikuti loading di alamat yang diketiknya. Matanya perlahan demi perlahan membaca halaman demi halaman. Dan mata Daffa terpaku melihat layar laptop saat membaca namanya tertera pada pengumuman penerimaan di instansi pemerintah yang diikutinya beberapa bulan lalu.
Beberapa saat Daffa hanya termangu. Gembira, terharu dan rasa tidak percaya bercampur menjadi satu. Daffa pun sujud syukur atas keberkahan yang dinantinya selama ini.  Dalam linangan air mata  terbayang Mamanya sedang tersenyum kepadanya.
                   

Rabu, 11 Maret 2015

SAAT AYAH PERGI

        Aku terbangun mendengar dering hp. Aku fikir itu alarm hp istriku, ternyata bukan. Itu adalah dering hp ku. Saat aku lihat panggilan tulisan My Father tertera disana.
“Hallo, Assalamualaikum” kataku sambil melihat jam didinding, ternyata pukul 03.40 WIB.
“Abang Ma, kudengar suara adikku Daffa dan memberikan hp ke Mama.
“Waalaikumussallam”suatu suara menjawab. Aku yakin ini bukan suara Mama. Kuingat-ingat suara ini mirip dengan suara Ibu, sepupu Ayah yang tinggal di sebelah rumah.
“Ini Ibu? ada apa Bu?” tanyaku dengan rasa penasaran
“Nda, bisa pulang sekarang?” tanya Ibu.
“Kenapa Bu?” tanyaku lagi dengan hati cemas. Ini kali ketiga panggilan dari rumah yang memintaku pulang. Pertama saat ayah kena stroke, kedua saat Ayah drop lagi sampai masuk RS. Ya Allah semoga ini bukan seperti yang kutakutkan.
“Pulang ya Nda.” jelas Ibu lagi.
“Kenapa Bu? tanyaku dengan cemas yang semakin menjadi-jadi.
“Ayah kenapa Bu” tanyaku lagi, berusaha menerka maksud ibu menelfon.
“Pulang saja Nanda dulu” jawab ibu lagi.
“Jawab dulu Bu. Kenapa Ayah Bu?” suaraku bergetar. Aku yakin ada sesuatu yang kutakutkan telah terjadi.
Kuberanikan diriku minta penjelasan “meninggal ayah Bu?” tanyaku lagi dengan suara yang semakin serak .
“Iya Nda. Sabar ya Nda. Pulang saja Nda dulu” akhirnya Ibu memberi penjelasan dan aku yakin ibu berusaha menahan air mata.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, Ayahhhh.....” lirihku.
          Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku.
“Jam berapa Ayah meninggal Bu?” tanyaku meminta penjelasan.
“Jam empat tadi Nda. Bisa Nda pulangkan?” tanya Ibu lagi.
“Ya Bu Nda pulang hari ini juga. Widya sudah dihubungi bu?” Tanyaku tentang adikku yang kuliah di Padang.
“Setelah ini akan dihubungi Dya” jawab ibu.
“Ya sudah Bu, Nanda siap-siap dulu. Tolong dirumah ya bu. Assalamualaikum” ucapku mengakhiri pembicaraan
“Iya nda. Waalaikumussallam”jawab ibu.
          Aku letakkan hp di atas meja dalam kamar dan terduduk di tempat tidur tanpa tahu mau berbuat apa-apa. Aku merasa kosong. Air mataku mengalir menging kejadian barusan yang seperti mimpi. Aku sangat berharap ini memang mimpi.
          Istriku yang juga terbangun ikut menangis disampaingku dan berusaha menenangkanku. Setelah agak tenang aku segera mandi dan bersiap-siap. Setelah selesai aku mencoba menghubungi Widya. Aku berharap adikku belum tahu kabar sebenarnya sehingga dia tidak panik.
“Hallo, Assalamualaikum” ucapku.
“Waalaikumussallam” jawab adikku dengan suara terisak.
Ya Allah sepertinya adikku sudah tahu, batinku.
“Dya pulang dengan siapa?” tanyaku langsung.
“Dengan Om Ses (adik sepupu Mama) Bang” jawab adikku dengan suara serak
“Siapa yang hubungi Dya?” tanyaku lagi.
“Tadi Om Em (adik mama di Solok) nelfon bang” jelas adikku.
“Ya sudah hati-hati ya. Do’akan Ayah. Abang juga berangkat pagi ini. Assalamualaikum” aku pun mengakhiri pembicaraan.
Aku berfikir bagaimana mau pulang. Dengan mobil atau motor?
Setelah diskusi dengan istri dan adik iparku akhirnya kami memutuskan pulang dengan mobil. Untuk yang meembawa mobil kami mengajak David, teman Desy yang pernah kami ajak pulang beberapa bulan lalu. Mobilnya aku sewa kepada tetangga yang punya rental mobil.
          Pukul 10.00 WIB kami berangkat. Indah, anak pemilik rumah tempat kami mengontrak ikut bersama kami. Sebelum keluar Pekanbaru kami sarapan dulu di daerah Taman Karya.
          Dalam perjalanan aku masih merasa semua ini seperti mimpi. Aku masih belum yakin Ayah sudah pergi. Masih teringat jelas Jum’at, 27 Februari 2015 pukul 17.00 WIB aku menelfon ayah yang sedang mengajar mengaji di rumah. Ayah masih tertawa denganku.
          Saat masuk Bangkinang Pek Tek Yan (adik Ayah) menelfon menanyakan posisiku. Pukul 12.00 WIB gantian Angku Zul (abang Mama nomor dua) menelfon mengabarkan kalau ayah selelsai dimandikan. Beliau bertanya apakah ayah boleh dikuburkan segera.
Ya Allah . . . .kalau tak ingat dengan ajaran agama ingin rasanya aku bertemu Ayah untuk terakhir kalinya. Namun demi kebaikan Ayah kucoba untuk tegar dan mempersilahkan keluarga di rumah untuk menguburkan Ayah. Selain itu aku juga sudah memperkirakan kami akan sampai Magrib, jadi sangat tak mungkin Ayah harus menunggu satu malam lagi.
          Pukul 13.00 WIB kembali Angku Zul menelfon mengabarkan kalau ayah sudah selesai dikubur. Dengan menahan air mata kuucapkan terima kasih kepada Angku dan menitip terima kasih juga buat semua orang yang sudah membantu pemakaman ayah. Kosong hanya itu yang kurasakann . . . .
Terbayang olehku paniknya Mama dan adikku Daffa menghadapi ini semua. Tapi aku harus tegar karena sekarang aku adalah laki-laki yang bertanggung jawab terhadap Mama, adik-adikku dan istriku tercinta.
          Sekitar pukul 14.00 WIB kami sampai di Ombilin dan berhenti di rumah keluarga istriku untuk makan siang. Disana kami bertemu dengan Pak Wo (Kakak mertuaku). Mertuaku sudah berangkat dari padang pukul 08.00 WIB bersama mama, Kak Rita (ipar) dan Bang Mora (ipar).
          Setelah makan dan istirahat sebentar kami melanjutkan perjalanan. Betul sesuai perkiraanku kami sampai Magrib di kampungku. Dari keterangan adikku, mama ada di tempat Amak (Ibu dari Mamaku). Jadi aku akan langsung kesana. Namun sebelumnya aku ke makam ayah dulu.
          Mengalirlah air mata yang kutahan selama perjalanan melihat tanah merah yang masih basah tempat Ayah dimakamkan. Ya Allah . . . kuatakan hamba-Mu yang lemah ini. Kuatkanlah Mama dan adik-adikku.
          Terbayang semua kenangan bersama Ayah. Ayah yang suka memintaku untuk menarikntarik rambutnya saat kepala Ayaah tersa berat. Ayah yang membawaku menonton bisokop pertama kali saat di Palembang dan makan sate kambing setelah itu. Begitu senang dan bahagianya aku saat itu.
          Ayah yang memarahiku kalau aku mandi-mandi di sungai. Ayah yang selalu mengantarku pergi sekolah saat SD. Ayah yang selalu membelikan aku mainan yang aku inginkan. Ayah yang tidak pernah bosan melatihku tenis meja di belakang rumah.
Ayah yang selalu datang saat pembagian raportku. Ayah selalu sibuk saat pendaftaran sekolahku. Ayah yang menyemangatiku untuk melanjutkan kuliah. Ayah yang menemaniku dengan motor ke Padang untuk mengejar mobil ke Pekanbaru saat ada panggilan kerja. Tawa dan syukur ayah saat aku memberi tahu kelulusan tes.
Ayah . . .  belum sempat anakmu ini membawa ayah ke Pekanbaru. Belum sempat anakmu ini memenuhi janji untuk membahagiakanmu. Belum sempat anakmu ini memberangkatkan naik haji.
Tidak ada lagi yang akan selalu menlfonku sekarang. Tidak ada lagi yang akan bilang taragak kepadaku. Tidak ada lagi tangan kokoh yang akan kucium saat pulang ke rumah. Tidak ada lagi yang akan kubelikan baju koko setiap lebaran.
Ya Allah . . . banyak sekali dosaku kepada Ayahku. Banyak sekali mulut ini menyinggung perasaanmu. Banyak sekali mulut ini membuat hatimu sedih. Maafkan aku Ayah, maafkan kesalahan anakmu ini . . .
Setelah puas menumpahkan segala beban dalam hatiku kami pun meninggalkan makam Ayah saat azan Magrib berkumandang. Aku tidak sabar ingin bertemu dengan Mama dan adik-adikku.
Di tempat nenek akhirnya aku bertemu dengan Mama yang menyambutku dengan senyum tak bersemangat. Aku yakin Mama pasti lelah lahir batin dengan semua ini. Apalagi ternyata dipangkuan Mama Ayahku menghembuskan nafas terkahir.
Aku melihat adikku-adikku yang sama letihnya dengan Mama. Sekarang akulah yang bertanggung jawab terhadap mereka. Kutatap wajah orang-orang yang kukasihi tersebut dengan sepenuh jiwa dan aku berjanji akan memberikan yang terbaik bagi mereka.

Senin, 09 Maret 2015

PRAKTIKUM GUNUNG MELETUS SMA MUHAMMADIYAH 1 PEKANBARU



Indonesia . . . Sebuah negara yang sungguh luar biasa. Hasil bumi yang tak terkira, sumber daya mineral yang semua ada dan hasil laut yang melipah ruah.
Sebagai seorang pendidik aku selalu tertantang untuk memberikan materi dengan cara yang menyenangkan bagi sisiwa-siswiku. Materi “Vulkanik” menjadi sesuatu yang ingin kubuat berbeda ditengah begitu banyaknya bencana yang sedang melanda negara tercinta.
Senyum melihat berbagai macam warna gunung api dan magma yang keluar dari hasil praktikum mereka ^_^. Yang terpenting mereka mau dan berusaha mencoba. Jadi inilah hasilnya . . .