ANDA PENGUNJUNG KE :

Senin, 18 Mei 2015

APAKAH BISA ???



Senin tanggal 18-5-2015 saya bertemu dengan Ketua Muhammadiyah sekaligus Ketua MUI Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, MA di sekolah tempat saya kerja. Suatu hal yang langka melihat langsung dan berjabat tangan dengan orang seperti beliau.
          Setelah mendengar “kuliah” singkat dari beliau ternyata apa yang sudah saya alami dan saya lihat di sekeliling saya selama ini tidak ada apa-apa nya. Kenapa saya bicara seperti ini? Karena ternyata sepak terjang beliau dalam kancah dalam dan luar negeri luar biasa.
          Kesibukan beliau yang sangat padat untuk Muhammadiyah sampai tugas beliau sebagai Presiden Organisasi Isam se Dunia sungguh padat. Saya penasaran bagaimana beliau  bisa membagi waktunya dan tetap fit.
          Dari penuturan beliau ternyata banyak waktu untuk keluarga yang beliau korbankan demi kepentingan organisasi dan umat. Saya sangat “iri” melihat orang yang sukses dalam pendidikan dan juga pergaulan dalam serta luar negeri seperti beliau.
          Apakah saya bisa?? Pertanyaan ini langsung muncul begitu melihat orang-orang hebat seperti Buya Din dan Pak Imam Robandi. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan begitu menggebu-gebu melihat orang-orang seperti mereka. Lanjut S2, S3 sampai Professor kalau bisa.
          Wahh . . . akan sangat luar biasa jika saya bisa mewujudkan itu semua. Bukan kenapa-kenapa dari daerah saya belum ada dengar ada yang bisa berhasil dengan pendidikan yang tinggi. S3 saja pasti suatu yang waww...
          Kenapa saya punya keinginan seperti itu ? tidak lain memberikan masukkan bagi orang-orang di sekitar saya untuk melihat begitu pentingnya pendidikan. Saya tidak ingin masyarakat Indonesia hanya jadi penonton saja melihat orang dari luar terus mengeruk kekayaan kita. Gak bosan emangnya ?
          Saya yakin banyak “mutiara-mutiara” di Indonesia yang mampu untuk bersinar dalam tingkat dalam negeri atau dunia. Tinggal diberi arahan dan bimbingan.
Wahhh . . . akan sangat luar biasa jika ahli pesawat, ahli mesin, ahli kedokteran, ahli hukum, ahli biologi, ahli fisika, ahli tata negara dan ahli-ahli lain bisa berkumpul dan duduk satu meja demi memeprbaiki kondisi negara yang saat ini begitu “kacau balau”.
          Makanya saat murid-murid saya kelas 12 mau ujian nasioanl dan mengisi jalur undangan masuk perguruan tinggi, saya bersemangat “mempengaruhi” mereka untuk berani mengambil impian untuk kuliah di universitas-universitas terbaik di Indonesia seearti ITB, UI, UGM, IPB dan lainnya.
“Pak, saya tidak boleh melanjutkan pendidikan ke Jawa” terang salah seorang murid.
“Kenapa” tanya saya
“Takut nanti kalau saya kenapa-kenapa di tempat orang. Apalagi tempatnya jauh dari orang tua” jelas murid tersebut.
Saya pun tersenyum.
“Ini yang tidak kalian sadari. Tidak ada orang tua yang keberatan anaknya mendapat pendidikan di tempat terbaik. Faktor tidak boleh tersebut muncul pasti disebabakan oleh hal-hal lain yang berasal dari diri kalian. Contoh sekarang saja sekolah dekat orang tua masih malas-malasan, datang ke sekolah sering terlambat, nilai raport yang tidak bagus dan banyak faktor lainnya.” jelas saya.
          Makanya saya sangat gregetan  jika melihat ada orang atau siswa saya sendiri yang lalai dalam studi. “Santai tapi pasti” sudah sangat melekat dalam diri kita. Ok, maksudnya supaya tidak stres dan merasa terbebani. Namun banyak yang memang kebablasan santainya. Itu membahayakan pendidikan mereka. Bagaimana kalau kita ganti menjadi “serius tapi pasti”.
          Akan bertambah luar biasa jika pendidikan masayarakat Indonesia minimal S1 atau S2. Sehingga kalau mau “mengekspor” TKI lagi bukan sebagai asisten rumah tangga tapi sebagi menejer di perusahaan-perusahaan besar di luar negeri sana. Pasti luar biasaa . . .
          Saya teringat apa yang dibilang oleh Pak Din saat beliau berbincang-bincang dengan orang-orang penting dari negara lain.
“Pak Din, menurut anda negara mana yang akan muncul sebagai macan Asia berikutnya?” tanya salah seorang sahabat beliau.
“Singapura ?” jawab Pak Din.
“Bukan.” jawab teman tersebut
“Malaysia.” lanjut Pak Din
“Bukan.” jawab teman beliau lagi
“Negara yang akan menjadi macan Asia berikutnya adalah INDONESIA” terang rekan beliau
“Kenapa anda berfikir seperti itu” tanya Pak Din
“Saat ini Indonesia banyak mengalami permasalahan yang luar biasa. Saya yakin jika itu semua berhasil dilewati maka Indonesia akan muncul sebagai negara yang kuat dan tahan banting terhadap segala permasalahan yang akan muncul” jelas tekan beliau.
          Luar biasa bukan jika semua itu benar terjadi. Melihat di kota-kota Indonesia sampai pelosok Indonesia pembangunan merata dan tidak lagi ditemui masyarakat yang mengemis di jalan, mengais-ngais sampah, tinggal di bawah jembatan atau lainnya. Semoga saya diberi kesempatan untuk melihat itu semua.

Rabu, 13 Mei 2015

GAEK GOBAT




Saat bulan puasa merupakan masa yang paling berat bagi anak kecil. Mudah letih dan kehausan. Namun ada yang unik dari kebiasaan di tempatku  di bulan puasa. Aku dan teman-teman yang lain memiliki rutinitas yang tidak biasa di mushala di daerah kami. Kami biasanya mengisi waktu di mushala dengan bermain ludo, congklak, gambar dan semua hal lainnya sambil menunggu waktu berbuka.
          Ini adalah kebijakan yang diberikan pengurus mushala supaya kami anak-anak betah untuk berada di dalam rumah ibadah. Kami diinstuksikan untuk tetap tertib di dalam mushala. Namun namanya juga anak-anak ada juga yang berlarian.
          Mushala kami memiliki halaman yang ukurannya bisa digunakan untuk main bulutangkis. Di sebelah kanan mushala ada jalan beraspal yang digunakan untuk menuju kampung sebelah. Di sebelah kiri ada kebun milik warga. Dibelakang ada kebun yang berbatasan dengan sungai mengalir tenang yang merupakan tempat favorit kami mandi-mandi . Dan di seberang sungai terhampar perbukitan yang menghijau.
          Mushala kami memiliki dua orang marbot. Satu bernama Gaek Pakiah (Gaek = Kakek) dan seorang lagi Gaek Gobat. Gaek Pakiah bertugas untuk jadi imam. Sedangkan Gaek Gobat bertugas memukul bedug untuk tanda masuk shalat dan membersihkan mushala.
Beliau berdua setia menjalankan tugas sebagai marbot sejak muda sampai akhir usia mereka. Gaek Pakiah memiliki perwakan kecil dan kurus. Sedangkan Gaek Gobat memiliki tubuh yang lebih berisi, pendek dan agak bungkuk. Gaek Gobat tidak bisa berbicara dengan lancar. Namun beliau menegrti apa yang diucapkan orang lain.
          Hal yang paling menarik bagiku dari Gaek Gobat saat pertama bertemu adalah wajah dan telinganya yang bersih dan mengkilat. Belum pernah aku melihat ada orang yang sudah usia lanjut memiliki rupa yang begitu bercahaya. Biasanya hanya ada kerut di usia segitu. Aku menyadari hal itu saat kelas 4 SD. Waktu itu aku dan keluarga baru pindah dari Palembang.
          Rumahku terletak setengah kilometer dari mushala. Saat azan Shubuh aku sering terbangun. Mendengar suara azan dan ada suatu suara lagi yang sering kudengar dari jalan di depan  rumahku. Suara sendal yang beradu dengan jalan berasapal.
          Suara itu sering kudengar saat Shubuh. Aku penasaran siapa yang sudah beraktifitas sepagi itu. Orang lari pagi
? rasanya tidak mungkin ada yang berlari dengan sendal. Langkah kakinya bukan seperti orang biasa lari pagi.
          Sampai beberapa hari kemudian aku masih mendengar langkah kaki tersebut. Aku belum juga mengetahui langkah kaki siapa. Akhirnya hal tersebut kuceritakan kepada Mama.
“Itu adalah langkah kaki Gaek Gobat ke mesjid Koto Baru” jelas Mama.
Mesjid yang dimaksud oleh Mama adalah mesjid yang berada di kampung sebelah. “Kenapa tidak di mushala Gaek Gobat shalat ma ?” tanyaku.
“Tidak ada yang azan dan jadi imam di mushala. Beliau ingin shalat shubuh berjamaah “ jelas Mama.
          Selang beberapa hari aku baru tahu kalau Gaek Pakiah yang biasa jadi imam di mushala kami sedang sakit. Setelah bertambah usia aku menyadari betapa besarnya pahala shalat shubuh berjamah yaitu lebih baik dari dunia dan isinya. (cari hadistnya).
          Terbayang olehku dengan langkahnya yang lambat Gaek Gobat setiap pagi berjalan sekitar 1 km untuk shalat Shubuh berjamaah.
          Hal lain yang kuingat tentang Gaek Gobat adalah pada saat kami mengaji di mushala. Kebetulan Ayahku adalah guru mengaji di mushala. Setiap habis Magrib kami mengaji sampai menejelang Isya. Setelah shalat Isya berjamaah baru kami pulang.
          Suatu hari aku dan seluruh murid mengaji melakukan gotong royong membersihkan mushala dan sekitarnya. Saat itu di mushala sudah ada garin baru pengganti Gaek Pakiah yang sudah meninggal dunia. Garin baru ini masih sekolah di pesantren di daerahku.
          Namanya anak-anak saat goto royongpun  banyak main-mainnya. Mungkin  karena terbawa suana garin baru tersebut sedikit “menjahili” Gaek Goabat untuk membuat kami tertawa. Namun Ayahku melihat hal tersebut. Ayah sangat marah. Kami semua terdiam dan takut melihat Ayahku. Ayah bilang kami harus menghormati yang lebih tua dan “kurang” dari kita.
          Saat bulan ramadhan Gaek Gobat biasa mengingatkan masyarakat sekitar melalui pengeras suara mushala.
“Sahurrr...hurr...hurr...mo nikk...mo nikk... (sahurrr...sahurr...lima menit lagi ...lima menit lagi) ” seruan khas dari Gaek Gobat. Ini berlangsung tiap 5 menit.
Saat pertama kali mendengarnya aku tersenyum.  Awalnya aku tidak paham apa yang dibilang oleh Gaek Gobat tersebut. Namun itu adalah cara Gaek Gobat membantu kami masyarakat untuk dapat sahur.
Untuk memberi tanda Magrib sudah masuk Gaek Gobat biasa memukul bedug di mushala tersebut. Iya, bedug benda silinder besar yang berlobang atas bawah. Salah satu bagian yang berlobang tersebut ditutupi dengan kulit sapi atau kerbau yang sudah dikeringkan.Bedug tersebut juga biasa dimasuki oleh aku dan teman-temanku saat main di mushala.
          Ditengah keterbatasan fisiknya Gaek Gobat selalu menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Setahuku tidak pernah Gaek Gobat tidak melewatkan tugasnya kecuai sakit.
          Saat pulang liburan di rumah salah satu hal yang aku tunggu adalah bunyi pukulan bedug penanda Magrib datang tersebut. Suara khas Gaek Gobat membangunkanku saat sahur. Serta melihat wajahnya yang mengkilat bersih karena air wudhu. Namun semua itu sudah tidak mungkin lagi karna beliau sudah meninggal dunia karena sakit saat aku sedang kuliah semester 5. Aku berdo’a semoga diusia senja nanti aku juga memiliki wajah yang juga sama bersih dan mengkilat seperti beliau.


Minggu, 22 Maret 2015

MERAIH MIMPI



Mendung menggelayuti langit. Sepertinya hujan akan segera turun. Aku tidak berencana kemana pun hari itu. Pikiranku melayang ke beberapa waktu lalu saat bertemu dengan seorang teman sekolah dulu. Teman yang menurutku baik hati dan sangat sayang kepada Mamanya. Memang semua anak sangat sayang kepada perempuan yang telah melahirkannya. Namun temanku tersebut punya alasan yang aku rasa tidak semua orang mengalaminya.
Mama, begitulah Daffa biasa memanggil perempuan yang paling disayanginya dan dihormati dalam hidupnya. Setiap mengingat Mamanya hati Daffa merasa sedih karena belum bisa membahagiakan Mamanya dengan lebih baik. Memang orang bilang tidak akan ada yang mampu membayar jasa perempuan yang paling mulia dalam hidup kita.
          Mama adalah perempuan “terhebat” dalam hidup Daffa. Sejak TK sampai kuliah Mama Daffa selalu berjuang demi kebutuhannya dan juga adiknya yang masih sekolah. Daffa ingat saat TK Mamanya membantu perekonomian keluarganya dengan berjualan tekwan (makan berkuah khas Palembang) saat masih tinggal di Palembang. Sedangkan Ayah Daffa bekerja sebagai wiraswasta yang  pasang surut penghasilannya. Mama Daffa adalah tipikal perempuan yang tidak mau menyusahkan orang lain dan selalu berusaha dengan kemampuan sendiri.
Daffa ingat saat kelahiran adiknya Mamanya pergi sendiri ke Puskesmas. Daffa yang hari itu ikut dengan Ayahnya ke toko mendapatkan kabar dari teman Ayahnya yang melihat Mamanya pergi ke Puskesmas. Dengan tergesa-gesa Ayahnya langsung menutup toko dan mereka langsung menuju Puskesmas. Wajah Ayahnya begitu tegang.
Saat sampai Puskesmas ternyata Mamanya sudah melahirkan adiknya yang cantik dan masih berwarna merah. Saat itu Daffa hanya merasa senang dan bahagia karena sudah mendapat teman bermain di rumah. Tanpa tahu kenapa Mamanya pergi sendiri ke Puskesmas.
          Kelas 4 SD Daffa dan keluarganya pindah ke Padang. Balik lagi ke kampung Ayahnya karena permintaan Nenek dari Ayahnya. Jadilah mereka menempuh perjalanan jauh yang melelahkan. Namun bagi Daffa sangat menyenangkan karena naik mobil dan bisa melihat pemandangan sepanjang jalan. Sebagai tambahan dari Kota Padang menuju kampung Ayahnya menempuh perjalanan 4 jam.
Di rumah Nenek, Mama dan Ayah Daffa memulai kembali usaha namun kali ini di bidang makanan dan minuman. Mamanya memulai usaha membuat gorengan yang dititipkan ke warung-warung dan dijual sendiri di kantin sekolah dekat rumah. Sedangkan Ayahnya memulai usaha pembuatan es aneka rasa. Alhamdulilah walaupun perlahan semua berjalan dengan lancar. Setiap 1 bulan sekali Daffa dan keluarganya pergi ke kota Padang untuk membeli bahan usaha sekaligus jalan-jalan. Sangat menyenangkan.
Daffa melanjutkan sekolah di SD dekat pasar yang ada di daerahnya. Setiap hari Daffa pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Walaupun melelahkan Daffa bersemangat menjalaninya. Setiap pagi Daffa membantu Mamanya mengantar gorengan ke warung-warung langganan. Namun adakalanya Daffa bosan dan “mogok” tidak mau mengantar.
Kalau boleh waktu diputar kembali mungkin tidak akan pernah Daffa menolak apapun permintaan Mamanya. Mungkin karena masih kecil dan belum memahami kondisi keluarganya Daffa masih beberapa kali “berulah”. Setiap kali Daffa menolak perintah Mamanya, tidak pernah sekalipun Mamanya marah. Beliau hanya diam saja.
Setelah dewasa baru Daffa memahami itulah cara Mamanya untuk memberi tahu kalau beliau sedang marah. Itulah Mamanya walupun Daffa menolak perintah beliau Mamanya tetap menyayanginya. Setiap pagi sebelum sekolah Daffa adalah orang pertama yang “membeli” gorengan buatan Mamanya. Mamanya selalu tersenyum melihat anaknya begitu lahap sarapan gorengan.
Saat Daffa SMP Mamanya berjualan dekat sekolahnya. Mereka sudah tidak tinggal lagi dengan Nenek Ayahnya. Ayah dan Mamanya mengontrak rumah yang berjarak setengah kilometer dari sekolahnya. Daffa begitu bahagia dan semangat belajar karena selalu dekat dengan orang tuanya. Daffa sempat heran dengan teman-temannya yang bisa bersekolah jauh dari orang tuanya. Kalau Daffa saat itu mengalaminya pasti tidak akan sanggup.
Sampai akhirnya saat SMA Daffa dan keluarganya pindah ke rumah mereka sendiri.  Betapa menyenangkannya saat Daffa tahu akan tinggal di rumah yang dibangun oleh Mama dan Ayahnya dari hasil usaha mereka bertahun-tahun. Walaupun sederhana tapi mereka merasa sangat senang dan nyaman tanpa perlu memikirkan lagi biaya sewa rumah.
           Saat SMA Daffa mulai memahami kondisi keluarganya. Beberapa kali diam-diam Daffa memperhatikan Mamanya yang selalu bangun dan bekerja mulai jam 03.00 WIB untuk memasak gorengan yang akan dijual. Sedih hatinya mengetahui perjuangan Mamanya yang seakan tidak pernah ada habisnya, namun tidak pernah sedikitpun Mamanya mengeluh dengan keadaan.
Tidak jarang kalau terbangun dini hari pasti Daffa sudah mendengar Mamanya yang sibuk di dapur sendiri. Padahal dia yakin Mamanya pasti capek karena sering tidur paling akhir. Daffa merasa tidak berguna namun apa dayanya karena dia masih sekolah dan belum bisa mencari kerja untuk meringankan beban keluarganya. Kalau sudah begitu pasti air matanya mengalir sendiri merenungi nasib keluarganya. Semakin dekat tamat SMA, terbangun saat Mamanya sedang berkerja dini hari semakin sering Daffa alami.
          Sebenarnya Mama Daffa adalah keturunan dari keluarga yang cukup terpandang di daerahnya. Mamanya adalah cucu dari seorang pengusaha hasil perkebunan yang namanya dikenal sampai tingkat kabupaten di kampung mereka. Bahkan dari cerita tetangganya Daffa tahu kalau Kakek Mamanya adalah orang pertama yang memiliki mobil di daerah mereka.
Selain itu orang tuanya Mama Daffa juga tergolong sukses. Mereka  memiliki rumah yang lumayan besar saat di Palembang. Sekarang Gaek dan Amak (begitu Daffa biasa memanggil kedua orang tua Mamanya) juga sudah tinggal di kampung mengurus sawah dan ladang yang dibeli saat masih di Palembang.
Mama Daffa merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dan merupakan perempuan satu-satunya. Di atas Mama Daffa ada Abang Mamanya yang biasa dipanggilnya Angku. Angkunya ini merupakan orang yang berkedudukan di dinas kabupaten tetangga. Adik Mamanya yang biasa dipanggilnya Om juga orang sukses dengan bekerja diinstansi pemerintah di kabupaten yang sama dengan Angkunya Daffa. Sedangkan Abang Mamanya yang paling tua tinggal di daerah yang sama dengan mereka sebagai petani.
          Walupun kondisi mereka pas-pasan tidak pernah Mamanya meminta bantuan dari orang lain. Mamanya adalah perempuan yang mandiri dan pantang untuk meminta selagi masih bisa berusaha sendiri. Dari cerita Mamanya Daffa tahu kalau sejak SD Mamanya sudah tinggal berpisah dari Amak yang merantau ke Palembang.
Sampai selesai SMK Mamanya terpaksa hidup dengan saudara-saudara Amaknya. Mungkin karena faktor ditinggal Amak sejak kecil itulah Mama Daffa pantang meminta kepada siapapun termasuk kepada keluarga sendiri. Daffa menerka Mamanya pasti sudah ditempa dengan kondisi yang tidak akan terbayangkan olehnya.
          Selesai SMA Daffa ingin sekali kuliah namun dia sadar dengan kondisi kelurganya. Kalaupun kuliah Daffa harus kuliah di univesitas negeri supaya biayanya lebih murah. Namun Daffa juga berfikiran untuk langsung bekerja. Daffa pun sempat ikut tes STPDN namun gagal.
Daffa pun pernah berniat ikut tes Polisi  namun akhirnya dibatalkan karena dia tidak merasa cocok dengan “sistemnya”. Akhirnya Daffa memutuskan untuk istirahat dulu 1 tahun dan berenca kuliah tahun depan.
          Pada saat seperti itulah Daffa bertekad menjadi seorang yang suskes. Tidak tega hatinya melihat Mamanya yang banting tulang demi mereka semua. Selama masa istrirahat itu Daffa meningkatkan ibadahnya. Daffa berusaha mendekatkan dirinya ke Allah SWT dengan shalat wajib tepat waktu dan menambah amalan sunah lainnya seperti puasa Senin Kamis dan shalat Tahajud.
Berattt . . . sangat berattt . . . bagi Daffa memulai semuanya. Tapi demi terwujudnya impian untuk diterima di universitas negeri Daffa terus berjuang melaksanakannya. Tidak jarang saat mengambil wudhu untuk shalat Tahajud Daffa sudah menemukan Mamanya memulai aktifitas. Kalau sudah begitu air matanya mengalir sendiri dalam shalat. Dalam do’anya Daffa memohon kepada Allah SWT untuk dipermudahkan menggapai impiannya dan bisa membahagiakan orang tuanya.
          Selain itu Daffa mengulangi kembali pelajaran untuk menghadapi tes masuk perguruang tinggi. Daffa belajar dengan salah seorang temannya yang sama-sama “istirahat”. Susah sekali bagi Daffa untuk memulai kembali belajar setelah hampir setahun tidak melihat buku pelajaran.
          Setelah tiba waktunya tes Daffa dan temannya berangkat bersama ke Kota Padang. Pada saat tes Daffa mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Namun Daffa masih cemas dan ragu apakah dirinya mampu untuk lulus ?
Alhamdulillahhh . . . perjuangan dan do’a kedua orang tuanya tidak sia-sia. Saat pengumuman kelulusan Daffa berhasil diterima di universitas negeri pilihannya. Daffa membaca pengumuman tersebut saat dalam perjalanan mengikuti pekan olahraga Provinsi. Dari hal tersebut jugalah Daffa bisa mendapatkan biaya untuk masuk kuliahnya. Jadi Daffa tidak perlu meminta kepada Mamanya. Dua kebahagian yang datang bersamaan. Dalam rangka kelulusannya tersebut Mama Daffa mengadakan syukuran dengan mengundang beberapa orang tetangga.
          Akhirnya Daffa pun memulai hari-hari sebagai seorang mahasiswa. Daffa masih berfikiran mencari uang tambahan untuk meringankan beban Mamanya. Daffa berusaha mencari beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Namun ternyata tidak semudah itu mencari pekerjaan yang sesuai dengan jadwal kuliahnya.
Daffa tetap terus berupaya mencari pekerjaan yang cocok. Selain itu Daffa juga berupaya mencari beasiswa. Dan alhamdulillah Daffa mendapatkannya dari kampus dan beasiswa daerahnya.
          Semua itu Daffa lakukan karena dia tahu Mamanya sudah berusaha dengan cara yang luar biasa untuk menguliahkannya. Saat liburan mau lebaran Daffa melihat Mamanya juga menjual jagung bakar selain kue yang biasa dijual untuk menambah pemasukan.
Melihat itu semua hatinya teriris. Begitu besar perjuangan Mamanya demi memenuhi kebutuhan pendidikannya. Hal itulah yang membuat Daffa berjanji akan mencari biaya sendiri dan tidak ingin melihat Mamanya repot lagi.
Daffa pun akhirnya mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang dilakukannya sehabis pulang kuliah. Gajinya memang tidak seberapa. Tapi Daffa terus bertahan dengan mengingat perjuangan Mamanya yang setiap hari bangun pukul 03.00 WIB untuk membuat kue demi masa depannya tanpa mengeluh. Tidak jarang Daffa kerja lembur dan sering pulang pukul 24.00 WIB.
Kalau sudah jam segitu Daffa pun terpaksa pulang jalan kaki karena tidak ada angkot yang yang menuju kostnya yang berjarak sekitar 1 km dari tempat kerja. Pulang jalan kaki ditengah malam yang sunyi sudah biasa baginya.
Alhmadulillah sampai selesai kuliah Daffa tidak lagi meminta uang bulanan dari rumah. Mamanyalah sosok yang menjadi teladan dalam bekerja dan bisa membuatnya bertahan dengan segala aktifitasku tersebut. Dalam 4 tahun kuliahnya mampu diselesaikannya.
          Hal tersebut merupakan kebahagian terbesar dalam keluarganya. Daffa tahu betapa berat Mamanya berjuang demi dirinya supaya menjadi seorang sarjana. Mamanya pernah bilang kalau dia jangan sampai seperti Mamanya yang tidak bisa kuliah. Mamanya sangat ingin Daffa bisa menjadi orang sukses.
Itulah seorang Mama yang selalu memikirkan nasib anak-anaknya. Dikemudian hari Daffa pun tahu perjuangan Mamanya yang selalu berusaha sendiri tanpa bantuan siapapun memiliki alasan lain yang baru diketahuinya kemudian.
          Daffa ingin menjadi manusia yang sukses demi keluarganya dengan usaha sendiri. Selesai kuliah Daffa mencoba ikut tes pegawai negeri. Tes ditiga provinsi diikutinya bersama seseorang yang saat ini sudah menjadi belahan jiwanya. Namun Daffa belum berhasil. Sedih hatinya karena belum juga bisa mewujudkan impian Mamanya.
Namun Mamanya bilang “Sabar saja nak, Allah SWT pasti sedang mempersiapkan yang terbaik dibalik ini semua”.
Hati Daffa tentram setelah mendengar nasihat dari Mamanya tersebut. Dia pun bertekad bagaimanapun caranya harus menjadi orang sukses. Daffa sempat bekerja di daerahnya. Namun gaji yang diterima masih kurang. Apalagi adiknya mau masuk kuliah.
Walaupun ditengah keterbatasan Daffa bilang ke Mamanya kalau dia ingin adiknya bisa melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Apalagi adiknya adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Sebagai Abangnya Daffa ingin memberikan masa depan yang lebih baik lagi untuk adiknya. Dia akan membantu biaya kuliah adiknya supaya Mamanya tidak terlalu berat menanggungnya.
          Melihat perkembangan kerjanya yang lambat Daffa memutuskan untuk mencoba peruntungan di Pekanbaru. Di Pekanbaru Daffa mendapatkan perkerjaan dengan gaji yang lebih baik daripada sebelumnya. Tekadnya hanya satu yaitu merubah nasib keluarganya supaya tidak dipandang sebelah mata.
Daffa teringat saat adiknya mau kuliah dan hala tersebut didengar oleh salah seorang familinya. Familinya tersebut mengatakan tidak usahlah adiknya kuliah kalau tidak ada biaya. Lebih baik adiknya menikah saja. Bahkan familinya tersebut mencarikan calon pendamping untuk adiknya, seorang pedagang keliling yang sudah berumur. Sedih hatinya mengetahui hal tersebut. Tekadnya semakin kuat akan mengembalikan semua kata-kata tersebut dengan keberhasilannya. Man jadda wa jadda, siapa yang bersunggu-sungguh akan berhasil.
          Untuk mencari tambahan Daffa kerja sambilan mengajar les supaya bisa menabung untuk masa depannya juga. Sehabis pulang sekolah dia langsung mengajar les sampai pukul 21.00 WIB. Daffa juga sudah mencoba berbagai usaha dari grosir makanan ringan, usaha pulsa dan terkahir usaha cemilan yang semuanya masih kurang memuaskan tapi dia yakin Allah SWT menyiapkan sesuatu yang lebih baik selagi kita mau berusaha.
*****
          Hujan terus turun sejak siang. Membuat Daffa semakin nyaman di dalam kamar. Tak terasa sudah hampir 4 tahun dia di rantau orang. Hari ini merupakan hari yang paling dianantinya. Segera dihidupkannya laptop dan mengetik alamat suatu website. Degup jantungnya semakin keras mengikuti loading di alamat yang diketiknya. Matanya perlahan demi perlahan membaca halaman demi halaman. Dan mata Daffa terpaku melihat layar laptop saat membaca namanya tertera pada pengumuman penerimaan di instansi pemerintah yang diikutinya beberapa bulan lalu.
Beberapa saat Daffa hanya termangu. Gembira, terharu dan rasa tidak percaya bercampur menjadi satu. Daffa pun sujud syukur atas keberkahan yang dinantinya selama ini.  Dalam linangan air mata  terbayang Mamanya sedang tersenyum kepadanya.